Tokoh Ilmu Perpustakaan
1. Tokoh Ilmu Perpustakaan di Indonesia
a. SULISTYO BASUKI
Sulistyo-Basuki adalah Guru besar Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. Sulistyo-Basuki, atau akrab dipanggil Pak Sulis (lahir di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 11 September 1941; umur 72 tahun) merupakan putra pertama almarhum Bapak Hardjito dan Ibu Moeridjah Hardjito, yang kedua-duanya merupakan pensiunan guru Sekolah Rakjat di Blitar. Ibunda Moeridjah sempat merangkap pustakawan ketika menjadi guru bantu di Meisjes Vervolgschool Wlingi. Pendidikannya di mulai di Frobel School di Sumbawa Besar (1948), Sekolah Rakjat di Blitar (1954), SMP bagian B (Blitar, 1957), SMA bagian C (Blitar, 1960) kemudian melanjutkan ke Sekolah Perpustakaan, cikal bakal pendidikan arsiparis di Indonesia. Ia memperoleh gelar Sardjana Muda (Universitas Indonesia, 1963), Sarjana Sastra (Universitas Indonesia 1974), Master of Science (Case Western reserve University, Cleveland, Ohio, USA 1980), Master of Arts (1980).
Ia menjadi putra Indonesia pertama yang meraih gelar doktor dalam bidang Information and Library Science dan juga gelar profesor bidang Ilmu Perpustakaan (sejak tahun1995). Gelar doktor diraihnya akhir Juni 1984 di Case Western Reserve University Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. Ia mempertahankan disertasi yang berjudul: A Citation Analysis of Agricultural and Medical Journal Published in Less Developed Countries, With Special Reference to the Regions of Africa Sub-Sahara, Latin America, and Southeast Asia.
Pak Sulis merupakan pengajar dan penulis yang aktif. Buku-buku terbitannya telah menjadi pegangan dasar bagi mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di universitas seluruh Indonesia. Gaya mengajar beliau yang kalem dan bersahaja sangat disukai oleh para mahasiswanya. Salah satu joke yang sering diungkapkannya ketika melihat para mahasiswa kebingungan di kelas adalah “yang bodoh ini pasti saya karena tidak bisa mengungkapkan ide dengan baik”. Beliau adalah profesor yang sangat rendah hati.
Ketika mengajar mata kuliah Metodologi Penelitian untuk mahasiswa tingkat akhir, Pak Sulis tidak henti-hentinya mengingatkan “publish or perish”. Sebuah ungkapan yang sangat tegas dan jelas dan akan selalu dikenang para mahasiswanya. Beliau juga sangat peduli dengan karya cipta. Jangan sekali-sekali membawa buku teks fotocopian di kelas. Hal disiplin lainnya yang diajarkan oleh beliau adalah untuk selalu menyebut sumber tulisan dalam sebuah karya tulis agar tidak disebut dukun.
Jabatan
a. Guru Besar, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (1995-sekarang)
b. Pengajar Program Ilmu Perpustakaan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1990-sekarang)
c. Pengajar, Jurusan Ilmu Perpustakaan (Perpustakaan) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (1975-sekarang)
Pendidikan
a. Sardjana Muda – Universitas Indonesia (1963)
b. Sarjana Sastra – Universitas Indonesia (1974)
c. Master of Science in Library Science– Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1980)
d. Master of Arts (History) – Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1980)
e. Doctor of Philosophy, Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1984)
f. Diangkat sebagai professor di Universitas Indonesia pada tahun 1995
Pengalaman Kerja
a. 1962–1963 Perpustakaan Yayasan Yamin
b. 1963–1965 Bagian Dokumentasi Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia
c. 1965–1967 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
d. 1967–1977 Departemen Luar Negeri
e. 1977-sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (dahulu Fakultas Sastra) Universitas Indonesia
f. 1984–1986 Pengajar, Ilmu Kedokteran Dasar, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
g. 1990-sekarang Pengajar Program Studi Ilmu Perpustakaan program Pascasarjana Universitas Indonesia
Pengalaman Pelatihan
a. Mengajar berbagai kursus kearsipan yang diselenggarakan oleh Arsip Nasional RI, Arsip Daerah di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Irian Jaya;
b. Pengajar Records Management Course 1995 sampai sekarang.
Pertemuan Internasional
a. Regional Archivists Meeting di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 1994 dan 1995
b. Southeast Asia Branch of International Council on Archives 1995 di Jakarta
c. International Council on Archives Congress di Beijing, RRC (1996) dan Sevilla, Spanyol (2000)
Karya Tulis
Buku
a. Administrasi Arsip: Sebuah Pengantar. Jakarta: 2001
b. Manajemen Arsip Dinamis: Pengantar Memahami dan Mengelola Informasi dan Dokumen. Jakarta: Gramedia, 2003
c. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2006
d. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
e. Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994
Penelitian
Digisation of Collection in Indonesia Academic Libraries: kajian Jaringan Komunikasi Ilmiah di Indonesia dengan Menggunakan Analisis Subjek & Analisis Sitiran.
b. DAUDZAN FAROUK
Dauzan Farouk merupakan Bapak delapan putra-putri kelahiran Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1925 itu, mendirikan Mabulir karena terinspirasi dari masa kecilnya membantu ayahnya, H. Muhammad Bajuri, yang mengelola Taman Pustaka Muhammadiyah pada zaman sebelum Indonesia Merdeka. Pada tahun 1989 Mbah Dauzan menghabiskan uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 untuk membeli buku kemudian mendirikan perpustakaan bergilir bernama Mabulir. Mbah Dauzan pun berkeliling kota Gudeg mengedarkan buku-bukunya secara gratis.
Setiap hari sejak bangun tidur, lelaki tua itu membaca buku, merapikan dan memperbaiki sampul sebagian buku-bukunya yang mulai rusak. Aktifitas meminjamkan aneka buku dilakukannya sore hari dengan bersepeda atau naik bis kota. Ia mendatangi kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja mesjid, dan pemuda Karang Taruna. Kelompok pengajian, tukang becak yang tengah mangkal, bahkan para ibu penjual di pasar-pasar, tak luput menjadi ‘sasaran’ untuk dipinjami buku secara gratis.
Konsistensinya membuahkan penghargaan seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005 , Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge. Pada April 2007 di acara World Book Day Indonesia, Mbah Dauzan Farouk mendapat gelar sebagai Pejoeang Literasi Indonesia.
Tapi tentu bukan penghargaan yang Mbah Dauzan cari. Namun tentu ini adalah kata hati yang direalisasikan dalam bentuk nyata untuk suatu nilai yang tidak kuantitatif.
Saat kecil, saya memang lumayan hidup berkecukupan aneka buku dari orangtua. Mulai dari buku pengetahuan umum, biografi ringan, komik-komik, buku dogeng, maupun majalah dan Koran. Saat berkunjung ke perpustakaan daerah saya sempat berkomentar dalam hati, “Lho, ternyata masih lebih menarik koleksi buku di rumah saya.” Tapi mohon maaf kepada siapapun yang tersinggung pada pikiran saya saat itu, karena saya baru sadar setelah beranjak dewasa bahwa tidak semua orang bernasib seperti saya. Orangtua saya, meski kondisi hidup bukan terbilang mewah, namun masih meluangkan uangnya untuk menambah khazanah pengetahuan semua anak-anaknya. Selain itu, saya kebetulan mengenyam pendidikan dari sekolah dasar hingga menengah atas di sekolah yang perpustakaan nya memadai dari segi fisik ruangan maupun koleksi.
Akan tetapi, tentu tidak semua bisa seperti saya kecil. Ongkos produksi buku yang terus menerus melambungkan harga jual, begitu banyak pilihan buku yang tidak bisa diikuti kondisi finansial, atau karena kebutuhan primer yang mau tidak mau harus dicukupi sehingga buku menjadi prioritas tersier, masalah aksesbilitas bacaan, dan problematika mencerdaskan bangsa, tentu menjadi salah satu dari sekian banyak alasan mengapa kita membutuhkan banyak Mbah Dauzan.
Mbah Dauzan selalu membaca semua buku sebelum dipinjamkan kepada para pelanggan, walaupun untuk membacanya harus menggunakan kaca pembesar, sebagai bentuk ingin memberikan bacaan yang terbaik. Lelaki yang tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sastra Timur Universitas Gadjah Mada itu telah mengambil peran dalam mencerdaskan manusia melalui buku bacaan yang dipinjamkan dari satu tangan ke tangan lain. Namun satu hal yang harus diingat pula, ketika berurusan dengan ‘pinjam meminjam buku’ maka problem lainnya adalah kadang pembaca buku tidak memperlakukan buku dengan layak.
c. MUHAMMAD AZWAN, M. Hum
Muhammad Azwar lahir di Ujung Pandang, 15 Januari 1980. Anak kelima (bungsu) dari pasangan Letkol (Purn). Inf. Drs. Abdul Muin (almarhum) dan Siti Rachima. Pendidikan dasar ditempuh di SDN 02 Sengkang (1987-1992). Kemudian melanjutkan di SMP Muhammadiyah V Mariso di Ujung Pandang hingga 1995. Pada tahun 1998 berhasil menyelesaikan pendidikan di SMUN 02 Ujung Pandang. Meraih gelar sarjana pertama di STAI Madinatul Ilmi, Depok jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah pada tahun 2005. Memperoleh kesempatan belajar dengan beasiswa dari Kementerian Agama di Universitas Indonesia jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi tahun 2009 dan memperoleh gelar Magister tahun 2011.
Karya Ilmiah
1. MODS Metadata Alternatif dalam Pengembangan Aplikasi Perpustakaan Digital di Indonesia (Studi Kasus Senayan Library Management System) tahun 2012
2. Information Literacy Skills : Strategi Penelusuran Informasi Online tahun 2013
3. Penerapan Knowledge Management (Studi Kasus SDIT Al-Hamidiyah Depok) tahun 2013
4. Membangun Sistem Otomasi Perpustakaan dengan Senayan Library Management System (SLiMS) tahun 2013
5. Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan upaya pustakawan mengidentifikasi informasi realitas tahun 2014
6. Penerapan Sistem Otomasi di Perpustakaan Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Alauddin Makassar tahun 2015
7. Pemanfaatan Fitur Z39. 50 pada SLiMS (Studi Kasus di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin) tahun 2016
8. Pemanfaatan Jurnal Elektronik oleh Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun 2015
9. Peranan Perpustakaan Sekolah dalam Mendukung Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Di SMA Negeri 1 Sinjai Tengah tahun 2016
10. Kemampuan Mahasiswa dalam Menelusuri dan Mengevaluasi Informasi Berbasis Internet (Studi Kasus Mahasiswa JIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Angkatan 2007) tahun 2011
11. Manajemen tata ruang perpustakaan pesantren madani Alauddin Pao-Pao Makassar tahun 2017
d. PUTU LAXMAN PENDIT
Tokoh Pustakawan Indonesia Putu Laxman Pendit Nama : Putu Laxman Sanjaya Pendit TTL : Jakarta, 3 September 1959 Nama Orang Tua : a. Ayah : Nyoman S. Pendit b. Ibu : Murtini S. pendit Nama Istri : Meily Zulia Nama Anak : a. Shasha Kanitrisutra b. Raudry Bungadyarti Putu Laxman Sanjaya Pendit atau sering disebut dengan Putu Laxman Pendit ialah seorang pustakawan yang mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu dibidangnya antara lain sebagai penulis, peneliti, pendidik dan pengajar bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Kiprahnya sangat dikenal dikalangan para pustakawan yang haus dengan isu dan hal-hal fundamental tentang kepustakawanan. Gagasan-gagasan segarnya selalu muncul dan menjadi topik diskusi yang hangat bagi pemerhati kepustakawanan Indonesia. Ia sosok pustakawan yang terbuka dan menerima saran atau kritikan yang sekiranya dapat membangun lebih baik karya-karyanya. Banyak perubahan-perubahan yang ia lakukan diantaranya penggunanaan perpustakaan digital yang dapat memudahkan masyarakat (pengguna) untuk mengakses informasi serta kreatifitas pustakawan untuk menarik minat pengunjung untuk datang ke perpustakaan. Seorang pustakawan harus proakftif dalam meningkatkan keterampilan sehingga tidak perlu menunggu pihak ketiga untuk bertindak terlebih dahulu untuk menyelesaikan apa yang telah menjadi pekerjaan pustakawan. Selain itu ,pustakawan dituntut untuk dapat meningkatkan kemampuan dirinya sendiri dan dengan demikian dapat terbukti dimasyarakat bahwa ia dapat diandalkan.
Gaya kepemimpinannya menggunakan model kepemimpinan demokratis karena berorientasi pada partisipasi masyarakat, bersifat terbuka, bawahan diberikan kesempatan untuk memberi saran, dan menghargai waktu serta pengambilan keputusan lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun Putu Laxman Pendit juga sering bersikap ambisius, karena akibat keambisiusannya ia mampu berkontribusi terhadap peran pustakawan dalam melayani masyarakat akan kebutuhan informasi. Untuk itu kepemimpinan Putu Laxman Pendit dalam hal ini berpegang teguh pada tiga konteks utama yakni : komitmen, kompleksitas, dan kredibilitas.
Pendidikan
· Sarjana dari Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial & Ilmu Politik) (1986)
· Master dalam Information Science dari Loughborough University of Technology, Inggris Raya (1988)
· Ph.D dari School of Business Information, RMIT University, Melbourne Australia (1997-2000) dengan disertasi berjudul “The use of Information Technology in Public Information Services: an interpretive study of structural change via technology in the Indonesian Civil Serviceâ€
Pengalaman Kerja
· Asisten dosen matakuliah komunikasi, media, dan jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (1982)
· Editor bidang teknologi dan luar negeri untuk Majalah Berita X-tra milik Femina Group (1985 – 1987)
· Pengajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia (1988-2004)
Karya Tulis Penelitian
· Penerapan teknologi hipertext untuk sistem informasi arkeologi.
Buku
· Menjadi Penulis: Membina Jemaat yang Menulis (sebagai penerjemah)
· Empat Teori Pers (terjemahan) (1986)
· Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi, sebuah pengantar diskusi Epistemologi & Metodologi (2003)
· Mata Membaca, Kata Bersama (2007)
· Perpustakaan Digital Dari A sampai Z (2008)
· Kesinambungan dan Dinamika Perpustakaan Digital (2008)
e. JNB TAIRAS (Tokoh Katalogisasi dan Klasifikasi Indonesia)
J.N.B. Tairas merupakan seorang pustakawan yang pertama menjadi wakil Indonesia dan sekaligus sebagai pemakalah pada International Conference on Cataloguing Principles (ICCP) yang dilaksanakan di Paris pada oktober 1961, hasil dari konreferensi tersebut kemudian dikenal dengan Paris Principles. Pada konferensi tersebut beliau membawakan makalah berjudul “Cataloguing of Indonesia Names”.
Karya-Karya J.N.B. Tairas
· Dunia Perpustakaan mulai ditekuni oleh J.N.B. Tairas tahun 1952-1954 dengan bekerja pada Perpustakaan Rakyat Makasar,
· Tahun 1956-1957 bekerja di Perpustakaan Rakyat Pusat di Jakarta. Juga bekerja sebaghai pustakawan di The Library of Congress Aquisition Office Jakarta,
· Tahun 1964 – 1975 (sebagai Chief Cataloger), dan editor Library of Congress Accession List.
· Tahun 1965 – 1967 juga bekerja di Perpustakaan Lemhanas,
· 1976 – 1980 bekerja sebagai pustakwan freelance di berbagai perpustakaan swasta maupun instansi pemerintah.
· Dari tahun 1991 sampai dengan wafatnya J.N.B. Tairas bekerja sebagai konsultan di Perpustakaan Nasional RI, dan menangani proyek-proyek tertentu di perpustakaan tersebut. Hingga hari tuanya, karena dedikasi yang tinggi terhadap dunia kepustakawanan di Indonesia Tairas tetap aktif mengikuti kegiatan-kegiatan dunia perpustakaan.
Pada saat bekerja di Perpustakaan Rakyat Makasar, beliau mendalami Universial Decimal Calsification, pedalaman sistem klasifikasi dilakukan karena sistem itu digunakan di perpustakaan tersebut. J.N.B. Tairas memiliki kemauan yang sangat tinggi dalam bidang katalogisasi dan klasifikasi, ini dibuktikan dengan kesukaanya pada mata kuliah pelajaran katalogisasi dan klasifikasi saat belajar di KPAP dan Library School diNew Zeland (Hasugian, 2003). Hasil karya dalam bidang katalogisasi yang pernah dihasilkan, yaitu pada tahun 1960 bersama dengan Rojani menyusun Daftar Tajuk Subyek (tidak sempat diterbitkan). Sekembalinya dari Paris sebagai wakil Indonesia dan sekaligus sebagai pemakalah pada International Conference on Cataloguing Principlestahun 1961, keinginan untuk mendalami katalogisasi dan klasifikasi semakin kuat, sehingga akhirnya menjadi karya-karya yang dapat dipakai sebagai alat pengolahan bahan pustaka.
Pada saat Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia tanggal 5-7 Juli 1973, beliau menyatakan bahwa walaupun pendidikan perpustakaan di Indoneisa sudah berusia 20 tahun, namun sangat sedikit yang dicapai dalam bidang katalogisasi dan klasifikasi. Hal tersebut terdapat dalam maklalahnya yang disampaikan pada acara tersebut, yang berjudul ”Tinjauan Klasifikasi dan Katalogisasi Dewasa ini di Indonesia”. Di dalam tahun yang sama (1973) J.N.B. Tairas menghasilkan sebuah karya bibliografi dengan judul ”Daftar Karya Bibliografi Indonesia”, bibliografi tersebut diterbitkan oleh Lembaga Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
J.N.B. Tairas pada tahun 1976 bersama Tim dari Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan buku Peraturan Katologisasi dan Nama-Nama Indonesia. Setahun kemudian (1977) Menerjemahkan buku Interntioanl Standard Bibliographic Description For Monographic Publication atau ISBD(M) dalam bahasa Indonesia.
Disusul dengan diterbitkanya ”Peraturan Mengkatalog Terbitan Berseri : Pertauran menentukan tajuk entri utama untuk majalah terjemahan, surat kabar, termasuk terjemahan ISBD(S) pada tahun 1978. Upaya yang dilakukan oleh J.N.B. Tairas ini merupakan titik awal untuk menyingkap salah satu aspek yang paling penting dalam sejarah pengatalogan bahan pustaka di Indonesia. Karya yang dihasilkan selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Perturan Katalogisasi Indonesia , J.N.B. Tairas dan Soekarman (1980) dan pada tahun 1982 dicetak ulang.
2. Pedoman Tajuk Subyek Perpustakaan, J.N.B. Tairas dan Soekarman (1990) yang diterbitkan oleh Penerbit BPK Gunung Mulia.
3. Daftar Tajuk Subyek untuk Perpustakaan Edisi ke 4, (1992), J.N.B. Tairas sebagai Koordinator Tim Penyusun. buku tersebut dicetak ulang poada tahun 1994.
4. Simplikasi Katalog Suatu Trend Katalogisasi Masa Kini (1995). Makalah disampaiakn pada Kongres ke 7 Ikatan Pustakwan Indonesia, tanggal 20-23 Nopember di Jakarta.
5. Universal Decimal Clasification (UDC) : Pedoman Pemakaian (1978) dengan tim Badan Pembinaan Hukun Nasional.
6. Klasifikasi Desimal Universal, terjemahan (1980), diterbitkan BPHN.
7. Pedoman Tajuk Subyek untuk Perpustakaan Umum dan Sekolah, (1977) diterbitkan oleh Pusat Pembionaan Perpustakaan Departemen P dan K.
8. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey, edisi pertama.. J.N.B. Tairas Bersama Towa Hamakonda (1978), kemudia pada tahun 1982 direvisi lagi, selanjutnya setelah wafatnya Towa Hamakonda, terbit edisi 5 (revisi)
9. Klasifikasi Bahan Pustaka Tentang Indonesia Menurut DDC. J.N.B. Tairas dan Soekarman (1993) dan diterbitkan kembali dengan revisi tahun 1996.
10. Pengembangan Sistem Klasifikasi Bahan Hukum Menurut UDC (1997). Sebagai Ketua Tim
Beliau sangat senang berorganisasi, hal tersebut terbukti dengan aktivitas beliau dalam organisasi kepustakawanan. Seperti dinyatakan oleh Hasugian (2003), bahwa J.N.B. Tairas adalah sosok Pustakawan yang tak pernah lupa akan organisasi profesinya, bahkan beliau adalah tokoh dan pelaku dalam perjalanan sejarah Organisasi profesi pustakawan hingga sekarang menjadi .Ikatan Pustakawan Indonesia. Aktivitas Organisasi J.N.B. Tairas, sebagai berikut :
1. 1953, J.N.B. Tairas sudah aktif menjadi anggota Asosiasi Pustakawan Indonesia (API) di Makasar.
2. Ketua Ikatan Siswa Pendidikan Ahli Perpustakaan (ISPAP) tahun 1954.
3. Sekretaris II Pengurus Perhimpunan Ahli Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (PAPADI), 1957
4. APADI (Assosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia) tahun 1962, disini J.N.B. Tairas duduk sebagai Wakil Ketua. (merupakan perubahan dari PAPADI).
5. Ketua IPI Cabang Jakarta, 1973-1975
6. Ketua I IPI Cabang Ibu Kota Jakaarta, 1980-1983
7. Anggota Badan Pembina IPI, 1989-1992
Selain aktif dalam organisasi profesi, beliau adalah merupakan motor penerbitan majalah yang dari organisasi profesi tersebut, beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Redaksi Majalah Ikatan Pustakwan Indonesia.
Pada tahun 1975 bersama Rojani, J.P. Rompas, Bambang Sumantri, H.A.K. Bachrudin, Darlis Ismail, Rosali Said, dan Sudariah Nasution, mendirikan dan mengajar di Lembaga Perpustakaan Dokumentasi dan Informasi (LPDI) Jakarta. LPDI telah menghasilkan 62 angkatan hingga tahun 1997. Hal tersebut menunjukkan kepedulian dari J.N.B. Tairas akan dedekasinya pada kepustakawanan Indonesia.
f. BLASIUS SUDARSONO
Nama Blasius Sudarsono tempat tanggal lahir Solo, 02 Februari 1948; umur 65 tahun, beliau tumbuh di lingkungan pendidik karena orangtuanya adalah guru sekolah dasar. Pak Dar sewaktu kecil gemar mengutak-atik barang elektronika. Bahkan pelajaran ilmu pengetahuan alam untuk anak SMP sudah ia pelajari sewaktu kelas lima SD. Tidak heran apabila ia terobsesi menjadi seorang ilmuwan. Ketika lulus SMA, ia ingin belajar elektro arus lemah. Tapi karena orangtuanya menginginkannya menjadi arsitek, dicobalah mendaftar di jurusan elektro dan arsitektur ITB. Hanya diterima di jurusan elektro, ia tidak memanfaatkannya. Orangtuanya kemudian ingin memasukkannya ke sekolah elektronika milik Angkatan Laut. Tapi lantaran tak ingin menjadi tentara, tawaran inipun ditampiknya. Akhirnya kuliah di jurusan fisika murni UGM menjadi pilihannya hingga tingkat sarjana muda. Karena terlalu lama menunggu dibukanya program sarjana penuh, Pak Dar memilih bekerja di perpustakaan LIPI.
Mengawali karir sebagai staf urusan servis teknis, memberi keuntungan bagi Pak Dar karena menjadi orang yang pertama bersentuhan dengan teknologi maju dan mahal pada saat itu; komputer. Semua hal mengenai komputer dipelajari secara otodidak. Begitu juga dengan kepustakawanan yang ia pelajari dengan cara “mendengar”. Berkat ketekunannya, dalam waktu lima tahun, datang tawaran untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana ilmu perpustakaan di Amerika dengan skema beasiswa. Sepulang dari pendidikan, Pak Dar mendapat jabatan baru menjadi Kepala Urusan Servis Teknis dan menjadi pengajar di program sarjana dan pascasarjana Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia. PDII-LIPI menyelenggarakan Kuliah Umum Bersama Blasius Sudarsono sejak Juli 2011 dengan tema-tema fundamental yang beragam dan bisa diikuti secara gratis oleh para pustakawan maupun pemerhati kepustakawanan. Blasius Sudarsono adalah tokoh pustakawan yang mempunyai padangan baru mengenai kepustakawanan di Indonesia, beliau menggunakan pendekatan melalui perspektif filsafat kepustakawanan, yang belum pernah ada di Indonesia. Universitas yang mempunyai jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi seperti di UI, UGM, UNPAD, UNAIR, UWK, UB, UIN, YARSI, dll, baru di UNPAD yang ada mata kuliah filsafat kepustakwanan. Basius Sudarsono adalah cikal bakal pengajar di Indonesia.Kontribusi pemikiran Blasius Sudarsono untuk perpustakaan dan pustakawan masa kini adalah filsafat kepustakawanan.
Pertanyaan tetang hakikat kepustakawanan sampai kini masih setia menjadi pendamping perjalan hidup seorang tokoh dan sekaligus pemerhati pustakawan Indonesia. Blasius Sudarsono namanya, beliau sangat terobsesi untuk menemukan rumus dasar yang dapat digunakan untuk menerangkan semua fenomena tentang perpustakaan, termasuk semua hal yang terkait di dalamnya. Mungkin saja ia tidak akan berhasil menemukan hal itu. Namun ia berharap ada sejawat lain, yang kelak akan berhasil menemukan hakikat atau teori dasar kepustakawanan Indonesia. Kepustakawanan Indoenesia menurut ia dimaksudkan sebagai ilmu perpustakaan dan seni menerapkanya di Indonesia. Bagi Pak Dar. Harus ada bedanya anatara Library Science yang mungkin bersifat universal danIndonesian Librarianship yang harus berakar dan bercirikan khas Indonesia. Ia memahami, jika banyak sejawat pustakawan Indonesia yang tidak setuju denganya.
Filsafat kepustakawanan Driyarkara yang dipakai oleh Blasisus Sudarsono dalam mencari makna kepustakawanan. Driyarkara membedakan antara filsafat sebagai ilmu (yang tidak dibahas dalam tulisan ini), dan filsafat dalam arti yang lebih luas yaitu dalam arti: usaha mencari jawab atas berbagai pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu. Dikatakan pula bahwa filsafat adalah pernyataan/penjelmaan dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap orang. Maka walaupun tidak setiap orang dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat itu memang berarti bagi kita semua. Pustakawan adalah orang (manusia). Maka jika kita memakai kalimat Driyarkara dengan mengganti kata orang dengan kata pustakawan dan sedikit memodifikasikannya, maka akan diperloleh kalimat berikut: Filsafat kepustakawanan adalah pernyataan/penjelmaan dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap pustakawan. Maka walaupun tidak setiap pustakawan dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat kepustakawanan itu memang berarti bagi semua pustakawan.
Pemikiran Blasius Sudarsono di atas, dapat disimpulkan bahwa beliau menekankan pada aspek falsafah humanisme dengan filsafat Driyarkara yang di dalamnya lebih menfokuskan pada sisi kemanusianya, artinya pada diri seorang pustakawan harus terdapat keilmuan yang menjadi cikal-bakal bagi pustakawan itu sendiri untuk lebih mengenal hakikat pustakawan dengan menumbuh kembangkan kepustakawananya dikarenakan hal tersebut merupakan akar yang ada pada diri seorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang pustakawan dengan tumbuh sifat kepustakawanan tersebut, diharapkan pustakawan dapat bekerja secara ideal dan profesional dalam melayani dan menyediakan informasi kepada pemustaka.
Menurut Pak Dar, ada 4 pilar kepustakawanan yang harus dimiliki seorang Pustakawan, yaitu:
· Pustakawan harus menjadi pangggilan hidup
· Pustakawan adalah semangat hidup (spirit of life)
· Pustakawan adalah karya pelayanan
· Dilaksanakan dengan profesional, kemauan dan kemampuan selalu beriringan
g. LASA HARSANA
Lasa Harsana merupakan salah satu pustakawan yang ulung. Beliau terus meningkatkan progresifitas intelektualnya sehingga jabatan pustakawan utama (setaraf guru besar pada jabatan fungsional dosen di perguruan tinggi) telah diperoleh pada September 2007. Lebih dari 200 artikel hasil pemikiran beliau telah dimuat di media cetak Yogyakara, Surakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, Jakarta, Riau.
Lasa Harsana (Lasa Hs), dilahirkan di Boyolali pada 1 Januari 1948. Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan awal beliau dapatkan dari kedua orang tuanya, dilanjutkan ke Sekolah rakyat islam mamba’ulum di Boyolali selama, selanjutnya ke Madrasah tsanawiyah al-Islam di Boyolali, dan menyelesaikan Madrasah ‘Aliyah al-Islam di Surakarta. Pendidikan berkarakter islam dan dengan menjaga konsistensi hingga saat ini beliau bersosok religius.
Pendidikan kesarjanaannya ditempuh pada program studi Bahasa Arab Fakultas Sastra dan Kebudayaan (sekarang fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1979. Kemudian beliau memperoleh pendidikan dan latihan perpustakaan di UGM tahun 1973, penataran Perpustakaan Kopertis wilayah V DIY, Program sertifikat ahli perpustakaan Fak. Sastra UI Jakarta, magang pengelolaan terbitan berkala di UPT Perpustakaan ITB Bandung, penataran tim penilai angka kredit pustakawan Tk. Nasional di Perpusnas RI Jakarta. Sedangkan gelar Magister Sains Manajemen Perpustakaan dari Pascasarjana UGM tahun 2002.
Profesi sebagai pustakawan ditekuni sejak tahun 1972 dan dikukuhkan sebagai pustakawan utama pada tahun 2007 di UPT Perpustakaan UGM unit I. Pernah bekerja di perpustakaan Fak. Teknologi Pertanian UGM (1972-Oktober 2006). Perpustakaan Akademi arsitektur YKPN (1975-1980). Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Fakultas kehutanan UGM. Institut Pertanian Yogyakarta (1983-2008). Pernah menjabat sebagai kepala bidang pelayanan perpustakaan UGM (Nov 2006- Jan.2012). Kini Kepala Perpustakaan Ubiversitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain pustakawan, beliau juga pernah berprofesi sebagai guru SMP Muh. Depok (1972-1973, dosen agama islam di Akademi Manajemen Putra Jaya (1985-1990, dosen agama islam di Institut Pertanian (1983-2006), dosen D3 Ilmu Perpustakaan FISIPOL UGM dan Fak. Adab UIN SUKA (1999-), dosen program studi manajemen inf. dan perp. FISIP UGM (1992-2005), dosen Fak. Teknologi Pertanian UGM (2002-2011), dosen Pascasarjana Ilmu perpustakaan IIS UIN Suka (2009-2011), dosen ilmu perpustakaan UT Surakarta dan DIY.
Di organisasi profesi, beliau pernah menjadi anggota pengurus IPI DIY (1990-1993), anggota pengurus majelis pustaka PP Muhamadiyah (1995-2000), wakil ketua forum perpustakaan perguruan tinggi indonesia DIY (2003-2006), anggota pengurus lembaga pustaka dan informasi PP Muhamadiyah (2005-2010), wakil ketua lembaga pustaka dan informasi PDM kota Yogyakarta (2005-2010), anggota pengurus majelis pustaka& informasi PP Muhamadiyah (2011-2015), pendiri himpunan pengelola perpustakaan sekolah muhamadiyah kota Yogyakarta, ketua forum silaturahim perpustakaan perguruan tinggi muhamadiyah (2012-2014).
Di bidang redaksional, pernah menjadi redaksi buletin Al Fata, Al Fikr, Agritech (Fak. Tekn. Pertanian UGM), Media informasi (Perp. Pusat UGM), Berkala ilmu perpustakaan dan informasi (Perpustakaan Pusat UGM), Palmisest (jur. Ilmu perpustakaan FISIPOL UNAIR Surabaya), Mentari (PDM kota Yogyakarta, dan reviewer unilib (Direktorat Perpustakaan UII Yogyakarta).
Aktivitas beliau saat ini adalah Kepala Perpustakaan UMY, asesor BAN PT DIKTI Kemendikbud RI, anggota Tim perumus standar nasional perpustakaan sekolah dan standar nasional perguruan tinggi, anggota pengurus dewan perpustakaan DIY, anggota tim penilai jabatan fungsional pustakawan UII Yogyakarta, pembicara dalam berbagai seminar.
Hasil Karya
Lasa Hs mulai aktif menulis sejak remaja. Pada awalnya beliau banyak menulis dengan topik keagamaan. Seiring perjalanan waktu beliau konsen pada empat topik penulisan yaitu religi (agama), kepustakawanan, penulisan, dan manajemen. Sampai saat ini telah lebih dari dua ratus artikel hasil pemikiran beliau dimuat di media cetak Yogyakara, Surakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, Jakarta, Riau. Beberapa artikel tersebut antara lain peran informasi IPTEK dalam alih informasi (Media Informasi, IV (2) Juni 1997), Celah-celah tulisan pustakawan (Media Pustakawan, IV (3) September 1997), Pengembangan karir dan profesi pustakawan (Buletin Perpustakaan, (2) April 1997), Dibalik angka kredit dan pengumpulannya (Wahana Informasi Perpusdokinfo, Vol. 18, Ed. Juli 2014).
Adapun karya tulis dalam bentuk buku 45 judul, diterbitkan oleh 13 penerbit dan masih terdapat beberapa dalam bentuk draff. Adapun judul buku hasil pemikiran beliau antara lain Ensiklopedi Muhammadiyah (karya bersama, Rajagrafindo, 2005), Kamus istilah perpustakaan (Kanisius, 1990, 1993, Gadjah Mada University Press, 1998), Membina Perpustakaan Sekolah Islam dan Madrasah (dicetak 10.000 eks. Oleh Adicita Karya Nusa, 2004), Manajemen Perpustakaan (Ga ma Media, 2005), Petunjuk Pengelolaan Perpustakaan Masjid (Gadjah Mada University Press, 1998), Manajemen Perpustakaan Sekolah (Pinus, 2007), Manajemen Perpustakaan Sekolah/ Madrasah (Ombak, 2013), dan yang lainnya.
Adapun kontribusi pemikiran Lasa Hs bagi dunia kepustakawanan, antara lain:
a) Lasa Hs telah mencurahkan pemikirannya melalui tulisan yang dapat digunakan sebagai referensi yang tentu saja bermanfaat bagi perkembangan kepustakawanan di Indonesia, salah satu kasil karya bidang kepustakawanan adalah Kamus Istilah Perpustakaan yang menjadi trademark Lasa Hs.
b) Berperan serta dalam penyusunan Standar Nasional Perpustakaan Sekolah
c) Menjadi asesor BAN PT DIKTI Kemendikbd RI.
d) Berperan dalam pengembangan pendidikan formal bidang perpustakaan di Indonesia
2. Tokoh Ilmu Perpustakaan di Dunia
a. MELVIL DEWEY
Ketika kita pergi ke perpustakaan besar, kemudian mencari buku yang diinginkan di katalog komputer. Ternyata setelah dimasukan judul buku dan pengarangnya ternyata kode bukunya adalah 150.195.FRO.c. Apakah kita mengerti apa maksud dari nomor-nomor dan huruf-huruf tersebut. Dengan membawa nomor panggil buku tersebut, kita kembali pada petugas perpustakaan, yang kemudian membantu hingga menemukan buku yang dibutuhkan.
Sesungguhnya nomor-nomor tersebut adalah nomor klasifikasi yang digunakan oleh perpustakaan dalam menyusun koleksi buku yang ada agar buku-buku yang sejenis dapat terkumpul berdekatan, misalnya berdasarkan bidang ilmunya.
Selain itu, sistem pengklasifikasian tersebut akan memudahkan dalam pencarian atau pun pengembalian buku. Ada beberapa macam sistem pengklasifikasian buku yang digunakan di berbagai perpustakaan. Namun, sistem yang paling banyak digunakan oleh perpustakaan-perpustakaan adalah sistem klasifikasi Dewey Decimal Classification (DDC). DDC digunakan oleh perpustakaan di lebih dari 130 negara. Hingga saat ini, DDC telah digunakan lebih dari satu abad. Hal ini tentu tidak terlepas dari sistem/cara kerja DDC yang dipandang paling memadai dalam mengakomodasi perkembangan dunia perpustakaan dan perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Sistem pengklasifikasian buku DDC ditemukan oleh Melvil Dewey, seorang pustakawan berkebangsaan Amerika Serikat, yang hidup pada paruh kedua abad ke-19 hingga awal abad 20. Tulisan ini bermaksud memperkenalkan sosok Melvil Dewey, sang penemu sistem DDC, proses hingga ditemukannya sistem DDC, dan sekilas tentang cara kerja sistem DDC.
Melvil Dewey lahir pada 1851 di Adams Center, sebuah kota kecil yang masih menjadi bagian New York. Orang-tuanya memberi nama Melville Louis Kossuth Dewey. Nama Louis Kossuth diambil dari nama Lajos Kossuth, seorang pejuang revolusi Hungaria yang pada masa itu sangat terkenal setelah usahanya pada 1848.
Sejak masih kanak-kanak, Melvil Dewey telah menunjukkan ketertarikan yang kuat terhadap buku. Ada anekdot yang menceritakan bahwa dia menyelamatkan banyak buku di perpustakaan pada saat sekolahnya terbakar pada 1868. Ketika itu, dia terlalu banyak menghirup asap sehingga dia menderita batuk kronis yang tidak kunjung sembuh. Oleh dokter yang merawatnya, dia diberitahu bahwa hidupnya mungkin tidak akan lama lagi. Sejak itu, dia menjadi sangat terobsesi untuk melakukan efisiensi, dilatarbelakangi oleh perasaan bahwa dia tidak memiliki cukup banyak waktu. Selain sistem DDC, Dewey juga menciptakaan sistem ejaan yang disederhanakan, dan sistem stenografi. Temuan-temuannya tersebut mungkin tidak terlepas dari peristiwa kebakaran tersebut.
Sebelum Dewey menemukan DDC, tidak ada sistem yang seragam yang dipergunakan oleh perpustakaan-perpustakaan untuk mengklasifikasikan koleksi buku-bukunya. Masing-masing perpustakaan memiliki dan mengembangkan sistemnya sendiri-sendiri. Bahkan ada perpustakaan yang mengelompokkan bukubuku berdasarkan ukurannya, tidak peduli temanya. Penomoran buku pun dilakukan berdasarkan nomor rak di mana buku disimpan. Misalnya, buku-buku yang disimpan di rak nomor 100C akan diberi nomor 100C. Jadi, nomor buku mengacu pada nomor rak. Sistem penomoran semacam ini disebut sistem “fixed location.” Sistem ini menimbulkan kesulitan yang tidak kecil. Masalahnya adalah ketika ada penambahan koleksi buku perpustakaan yang sampai menyebabkan buku-buku yang sudah ada harus digeser ke rak yang lain, maka nomor buku-buku tersebut pun harus diubah, menyesuaikan dengan nomor raknya yang baru. Perubahan nomor buku pun akan berdampak pada harus diubahnya kartu katalog buku-buku tersebut, karena nomor buku yang tercantum dalam katalog pun harus diubah.
Keadaan seperti itu mendorong Dewey untuk menemukan suatu sistem pengklasifikasian buku yang baru. Sesungguhnya Dewey tidak menemukan sistem yang sama sekali baru. Sebelum Dewey menemukan sistemnya, sudah ada beberapa sistem pengklasifikasian buku. Misalnya, Charles A. Cutter membuat sistem klasifikasi berdasarkan topik, dan Nathaniel Shurtleff melakukan penomoran menggunakan sistem desimal. Inovasi yang dilakukan oleh Dewey adalah menggabungkan sistem pengklasifikasian berdasarkan topik dan penomoran dengan sistem desimal. Namun, nomor tidak mengacu pada rak, melainkan pada bidang ilmu.
Inovasi penting dari DDC adalah penomoran DDC tidak secara langsung merujuk pada lokasi buku. Nomor DDC hanya memberitahu letak relatif suatu buku di antara buku-buku yang lain. Untuk menemukan sebuah buku, dibutuhkan informasi tambahan, misalnya denah rak yang menginformasikan di mana buku-buku dengan nomor-nomor tertentu ditaruh. Hal ini berbeda dengan sistem “fixed location”, di mana nomor buku sama dengan nomor rak tempat buku tersebut disimpan. Berkat inovasi dari DDC ini, kita tidak perlu lagi mengalami masalah yang dihadapi bila menggunakan sistem “fixed location”. Bila perpustakaan menambah buku yang menyebabkan beberapa buku harus dipindah ke rak yang lain, maka denah lokasi saja yang perlu diubah, tidak perlu keseluruhan katalog.
Satu kelebihan lain dari sistem DDC adalah memudahkan untuk ditambahkannya subjek/tema-tema baru. Pada saat pertama kali diterbitkan pada 1876, manual DDC hanya terdiri dari 44 halaman. Sedangkan dalam Edisi 21 yang diterbitkan pada 1996, manual DDC mencapai tebal lebih dari 4000 halaman. DDC memungkinkan penambahan subjek baru karena DDC menggunakan sistem desimal. Dewey mulai dengan membagi jenis-jenis pengetahuan ke dalam kategori-kategori dasar yang kemudian diberi nomor-nomor utama (main class). Selanjutnya, mudah untuk membagi kategori-kategori dasar tadi menjadi bidang-bidang yang lebih mendetail, yang ditandai oleh nomor-nomor di sisi kanan titik desimal. Dengan sistem seperti ini, DDC dapat mengakomodasi perkembangan pengetahuan sejak masa Dewey hingga saat ini.
CARA KERJA SISTEM DDC
Dewey membagi berbagai disiplin pengetahuan yang ada ke dalam sepuluh kelas utama (main class), dengan satu “Generalities”. Selanjutnya, kelas-kelas utama tersebut dibagi lagi ke dalam sepuluh divisi, dan setiap divisi dibagi lagi ke dalam sepuluh section. Ke-sepuluh kelas utama tersebut adalah:
000 Generalities
100 Philosophy, psychology
200 Religion
300 Social Science (incl. economics).
400 Language
500 Natural Science.
600 Technology (incl. medicine, management).
700 Art (incl. architecture, paintings, photography).
800 Literature
900 History, geography, biography.
Kelas utama 000 digunakan untuk karya-karya yang tidak terbatas pada satu disiplin ilmu saja, misalnya ensiklopedia. Kelas ini juga digunakan untuk bidang yang berhubungan dengan pengetahuan dan informasi, misalnya ilmu komputer, ilmu perpustakaan. Angka pertama pada nomor-nomor tersebut menunjukkan main class. Masing-masing main class terdiri dari 10 divisi, juga menggunakan nomor 0 – 9. Angka yang menunjukkan divisi adalah angka kedua. Misalnya, 600 digunakan untuk buku-buku yang membahas tentang teknologi/ilmu terapan secara umum, 610 untuk ilmu kedokteran, 620 untuk ilmu teknik, 630 untuk pertanian. Masing-masing divisi dibagi lagi menjadi 10 section, juga menggunakan nomor 0 – 9. Angka ketiga dalam nomor DDC menunjukkan section. Misal, 610 – 6 – digunakan untuk karya umum di bidang kedokteran, 611 untuk anatomi manusia, 612 untuk fisiologi manusia, 613 untuk bidang promosi kesehatan.
Selanjutnya, setelah tiga nomor utama tersebut, angka desimal dapat digunakan sejauh diperlukan. Misalnya, 611.1 untuk buku yang membahas tentang organ-organ kardiovaskular, 611.2 untuk buku yang membahas tentang organ-organ pernafasan.
Dewey merupakan pelopor kepustakawanan di Amerika. Karyanya yang paling dikenal adalah Dewey Decimal Classification (DDC), yang kini digunakan sebagai kelas klasifikasi banyak perpustakaan. Karya lain dewey adalah ide dan gagasannya untuk menambah tugas dan fungsi perpustakaan Negara sebagai pembina layanan di perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum. Beliau pula salah satu pelopor pendiri ALA (American’s Librarian Association) dan memiliki beberapa biro perpustakaan dan perusahaan swasta sebagai upaya fundrising perpustakaan. Dan karena karya dan dedikasinya, sebuah karya menyebutnya sebagai Father of Modern Librarianship.
b. SHIYALI RAMAMRATA RANGANATHAN
• Lahir pada tanggal 9 Agustus 1892 di Shiyali, Madras, India.
• Bersekolah di Sekolah Tinggi Hindu di Shiyali, di Madras Christian College (di mana Beliau mengambil gelar BA dan MA dalam matematika pada tahun 1913 dan 1916), dan di fakultas keguruan, Saidapet.
• Pada tahun 1917 Beliau bergabung dengan universitas negeri di Mangalore.
• Dari tahun 1920 sampai 1923 Beliau kemudian mengajar di Universitas Negeri Coimbatore, dan di Universitas Madras, pada 1921-1923.
• Pada tahun 1924 Beliau diangkat sebagai pustakawan pertama dari Universitas Madras, dan untuk menyesuaikan dengan jabatan, Beliau pergi ke Inggris untuk belajar di Universitas Negeri di London.
• Tahun 1925 sampai 1944 Beliau mengambil pekerjaan di Madras sampai 1944.
• Tahun 1945-1954 Beliau menjabat sebagai pustakawan dan sebagai profesor ilmu perpustakaan di Universitas Hindu di Varanasi (Banaras), dan 1947-1954 Beliau mengajar di Universitas Delhi.
• Tahun 1954-1957 Beliau terlibat dalam penelitian dan penulisan di Zürich.
• Beliau kembali ke India pada tahun terakhir dan menjabat sebagai profesor tamu di Universitas Vikram, Ujjain, sampai tahun 1959.
• Pada tahun 1962 Beliau mendirikan dan menjadi kepala Pusat Dokumentasi dan Penelitian Pelatihan di Bangalore, dan pada 1965 Beliau diberi penghargaan oleh pemerintah India dengan gelar profesor riset nasional di ilmu perpustakaan
Prinsip-prinsip SR. Ranganathan dituangkan dalam 5 hukum dari Ilmu Perpustakaan atau Five Laws of Library Science adalah pertama dan, sampai saat ini, satu-satunya definisi yang jelas dari suatu fungsi-fungsi dan tanggung-jawab perpustakaan. Meski dapat dikatakan bahwa Hukum tersebut menuntut perenungan dan pengalaman sebelum menuju kepada kesempurnaan untuk digunakan sebagai petunjuk penting untuk pustakawan-pustakawan dengan potensi yang ada, untuk merencanakan dan menyediakan jasa pelayanan di dalam semua jenis perpustakaan.
Five Laws of Library Science adalah :
1. Books are for use, artinya Penekanan pada hukum yang pertama ini adalah bahwa perpustakaan harus mendapatkan pustaka dan membuat bahan perpustakaan tersebut mudah untuk digunakan oleh pemustaka , karena prinsip dasar hukum yang pertama ini mengandung dasar bahwa buku itu ada untuk digunakan.
2. Every reader his/her book , artinya Hukum kedua ini mengungkapkan isu perdebatan yang fundamental antara harga koleksi dengan kebutuhan dasar pemustaka yang harus bisa mengakses koleksi yang mereka butuhkan. Hal ini membuat pengadaan menjadi sesuatu yang sangat penting, pengadaan harus mengakomodir kebutuhan pemustaka.
3. Every book, its reader, artinya Hukum ini menekankan pada isu dasar tentang open access atau layanan terbuka sebuah perpustakaan. Open access artinya bahwa koleksi dapat diakses dengan bebas oleh pemustaka. Hal ini menunjukkan bahwa seharusnya, ketika ada pemustaka akan mengakses koleksi tertentu, maka koleksi tersebut harus pasti dapat ditemukan. Hal ini adalah menjadi tugas pustakawan dalam menjamin bahwa hubungan antara koleksi dengan pemustaka harus harmonis, dan kecepatan akses dalam penemuan kembali koleksi di perpstakaan harus dimaksimalkan.
4. Save the time of the reader , artinya Kebijakan harus dirumuskan sesuai dengan kebutuhan pemustaka Jangan sekali kali membiarkan pemustaka kebingungan dan membutuhkan waktu yang lama dalam mengakses informasi yang dibutuhkan. Informasi yang dikumpulkan dan diolah perpustakaan harus disesuaikan dengan tujuan perpustakaan serta harus disesuaikan dengan lingkungan perguruan tinggi, kebiasaan dan sikap pemakai serta kebutuhan informasinya.
5. A library is a growing organism, artinya Hukum kelima ini memberitahu kepada kita bahwa yang terpenting dari perpustakaan adalah bahwa perpustakaan itu selalu tumbuh dan berkembang serta berubah dan akan selalu mengalami hal seperti itu. Koleksi perpustakaan selalu bertambah dan berubah, teknologi terus berkembang mau dan budget juga selalu mengikuti perubahan itu. Perubahan-perubahan yang kompleks tersebut harus diantidipasi dan diimbangi dengan manajemen yang baik.
c. DON R. SWANSON
Ia lahir pada 10 Oktober 1924 dan wafat 18 November 2012 adalah seorang ilmuwan informasi Amerika , yang paling dikenal karena karyanya dalam penemuan berbasis literaturdalam domain biomedis. Metode khususnya telah digunakan sebagai model untuk pekerjaan lebih lanjut, dan sering disebut sebagai Swanson menghubungkan . Dia adalah seorang penyelidik dalam proyek Arrowsmith System , yang berusaha untuk menentukan hubungan yang bermakna antara artikel Medline untuk mengidentifikasi pengetahuan publik yang belum diketahui sebelumnya. Dia telah menjadi profesor emeritus Universitas Chicago sejak tahun 1996, dan tetap aktif dalam penunjukan setelah pensiun sampai kesehatannya mulai menurun pada tahun 2009.
Swanson menerima gelar BS dalam Fisika di Caltech , Pasadena, California pada tahun 1945, diikuti oleh MA di Rice Institute , Houston, Texas , dua tahun kemudian, dan kemudian PhD dalam Theoretical Physics dari University of California di Berkeley pada tahun 1952. Ia bekerja sebagai seorang fisikawan di berbagai laboratorium sampai 1963, ketika ia diangkat menjadi profesor dan menjabat sebagai dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perpustakaan di Universitas Chicago hingga 1972 dan kembali dari 1977–79 dan 1987-89.
Swanson secara cemerlang menguraikan interaksi (dialogue) yang ideal diantara seorang pengguna perpustakaan dengan console,(suatu jenis terminal yang dapat menemu balikkan berbagai jenis informasi bibliografi, dan mungkin informasi lainnya). Melaluiconsole, pengguna akan dapat berdialog dengan pangkalan data, dan melakukan penelusuran informasi. Pengguna diharapkan akan merasa puas terhadap dialog tersebut, karena informasi bibliografis yang dibutuhkan dapat diperoleh lebih cepat.
Tedd (1994) menguraikan kronologis perkembangan sistem OPAC dan automasi perpustakaan, yang disarikan sebagai berikut:
1. Pada tahun 1960-an, komputer telah digunakan di berbagai perpustakaan umum dan perguruan tinggi untuk membantu membuat katalog. Pada saat itu, pengoperasian sistem komputer masih berada pada mode atau cara yang sangat bervariasi, sehingga kemungkinan melakukan penelusuran informasi dengan katalog terpasang (online) dianggap masih jauh dari kenyataan.
2. Pertengahan Tahun 1970-an. Pada masa ini, komputer mulai digunakan untuk proses pengawasan sirkulasi di perpustakaan. Sistem komputer digunakan untuk tujuan pengumpulan data, khususnya pencatatan peminjaman. COM (computer output on microfilm) menjadi metode yang terkenal digunakan untuk menghasilkan katalog. Perkembangan pada masa ini, juga ditandai dengan munculnya sistem kerjasama pengatalogan dan pemanfaatan bersama, pada berbagai perpustakaan. Misalnya, di Inggris LASER (London and South Eastern Library Region), dan di Amerika Utara OCLC (Ohio College Library Centre). Sistem kerjasama ini menghasilkan cantuman katalog pada komputer untuk sejumlah perpustakaan yang berpartisipasi, baik dalam bentuk COM, maupun kartu katalog.
3. Akhir Tahun 1970-an dan Awal Tahun 1980-an Pengenalan komputer mikro (microcomputer) di era ini, mendorong berbagai perpustakaan semakin mandiri untuk menggunakan fasilitas komputer yang diperoleh dari perusahaan yang dilanggan. Kemandirian ini mengarah kepada pengembangan dan perancangan sistem sendiri (in-house system).Penggunaan komputer mikro menjadi terkenal karena menyediakan fasilitas untuk melakukan akses secara terpasang (online) terhadap berbagai simpanan (file) dalam sistem sirkulasi. Perkembangan lain yang terjadi pada masa ini, ialah penyediaan paket perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) atauturnkey sistem untuk perpustakaan oleh beberapa perusahaan. Sistem tersebut menggabungkan sejumlah fasilitas, diantaranya fasilitas penelusuran dan sistem sirkulasi. Karena sistem komputer yang digunakan pada masa itu di perpustakaan mampu menelusur cantuman bibiliografi secara online, sehingga sistem itu disebut sebagai sistem OPAC. Munculnya sistem OPAC disejumlah perpustakaan tertentu, merupakan perkembangan utama yang terjadi dalam automasi perpustakaan sampai awal tahun1980-an.
4. Pertengahan Sampai Akhir Tahun 1980-an. Pada masa ini, perpustakaan yang menggunakan sistem OPAC semakin meningkat. Pemasok mulai menyediakan sistem yang terintegrasi (integrated system) untuk manajemen perpustakaan, mencakup modul atau sub-sistem yang berbeda, seperti pengatalogan, akuisisi, sirkulasi, pengawasan serial, layanan antar perpustakaan dan juga OPAC. Keuntungan sistem yang terintegrasi bagi kegiatan penelusuran ialah, sistem memperbolehkan pengguna mengakses modul OPAC untuk mengetahui status pinjam dari semua bahan perpustakaan yang ada di perpustakaan tertentu. Pengguna yang sedang mengakses OPAC dimungkinkan bisa mengetahui status suatu bahan perpustakaan, apakah sedang tersedia atau sedang dipinjam, siapa peminjamnya, berapa lama dipinjam, kapan dikembalikan dan sebagainya. Hal ini dapat dilakukan, karena sistem menghubungkan file katalog dengan file sirkulasi. Sistem OPAC menjadi sangat terkenal selama tahun 1980-an, sehingga banyak perpustakaan mulai meninggalkan katalog kartu dan beralih ke sistem OPAC.
5. Pada tahun 1990-an, terlihat perubahan besar pada sistem manajemen perpustakaan, dengan menawarkan kecenderungan dari sistem milik sendiri (proprietary systems) bergerak ke arah sistem terbuka. Sejumlah permasalahan yang ditemui pada pengoperasian sistem di masa sebelumnya diinventarisir. Ditemukan bahwa sejumlah besar sistem yang ada di perpustakaan pada tahun 1980-an hanya bisa dijalankan pada perangkat keras (hardware) tertentu, misalnya sistem seperti DOBIS / LIBIS, Geac, LIBERTAS dan URICA, hanya dapat dijalankan pada hardware atau perangkat keras buatan suatu perusahaan tertentu. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh pemasok sistem untuk perbaikannya. Pemasok sistem mulai menawarkan produk sistem baru yang bisa dijalankan pada sejumlah perangkat keras. Arsitektur dari beberapa sistem yang baru ini, memisahkan perangkat lunak (software) menjadi client dan server. Perangkat lunak untuk client menyediakan antarmuka (interface) kepada pengguna, dan biasanya berjalan atau beroperasi pada PC (personal computer) atau terminal. Perangkat lunak untuk server menyediakan pengelolaan pangkalan data, dan biasanya dioperasikan pada komputer lain.
d. JAMES HADLEY BILLINGTON
Ia lahir 1 Juni 1929, umur 88 tahun, Pustakawan Kongres Emeritus, adalah seorang akademisi dan pengarang Amerika utama yang mengajar sejarah di Harvarddan Princeton sebelum menjabat selama 42 tahun sebagai CEO dari empat lembaga kebudayaan federal. Ia menjabat sebagai Pustakawan Kongres ke-13 setelah dinominasikan oleh Presiden Ronald Reagan pada 1987, dan pelantikannya disetujui tanpa halangan oleh Senat AS. Ia pensiun dari jabatan Pustakawan pada 30 September 2015.
James Hadley Billington dilantik sebagai Pustakawan Kongres pada tanggal 14 September 1987. Dia adalah orang ke-13 yang memegang posisi tersebut sejak Perpustakaan didirikan pada tahun 1800. Billington dinominasikan oleh Presiden Ronald Reagan, dan pengangkatannya dengan suara bulat disetujui oleh Senat AS.
Selama 28 tahun masa jabatannya di Library of Congress, Billington menggandakan ukuran koleksi analog tradisional Perpustakaan, dari 85,5 juta item pada 1987 menjadi lebih dari 160 juta item. Bersamaan dengan itu, ia menciptakan Perpustakaan Online baru yang besar, dan meluncurkan serangkaian program Perpustakaan inovatif untuk "mengeluarkan sampanye dari botol" bagi jutaan orang Amerika dan dunia. Billington memperoleh satu-satunya salinan dari peta dunia 1507 Waldseemüller ("Akte kelahiran Amerika") pada tahun 2003 untuk tampilan permanen di Gedung Perpustakaan Thomas Jefferson. Dia merekonstruksi perpustakaan asli Thomas Jefferson , dan juga menempatkannya di layar permanen di gedung Jefferson pada tahun 2008 menggunakan dana pribadi. Dia memperoleh salinan lengkap dari surat-surat Lafayette yang sebelumnya tidak dapat diakses dari kastil keluarga Lafayette di LaGrange, Perancis, serta ratusan koleksi lain dari orang Amerika yang hebat mulai dari Thurgood Marshall hingga Irving Berlin dan Jackie Robinson.
Billington memperbesar dan meningkatkan ruang publik di Gedung Thomas Jefferson menjadi tempat pameran nasional, menyelenggarakan lebih dari 100 pameran, banyak yang menampilkan materi yang sebelumnya tidak pernah ditampilkan secara publik di Amerika. Ini termasuk pameran berskala besar di Perpustakaan Vatikan , Bibliothèque nationale de France , Perang Sipil , Presiden Abraham Lincoln , budaya Afrika-Amerika , Agama dan Pendirian Republik Amerika , ulang tahun ke - 800 Magna Carta , dan pencetakan awal Amerika menampilkan Rubenstein Bay Mazmur Book . Sumbangan Jay Kislak tentang koleksi indahnya tentang sejarah dan budaya Amerika Awal kini ditampilkan secara permanen di gedung Jefferson. Billington juga mengadvokasi dengan sukses untuk koneksi bawah tanah antara Perpustakaan dan US Capitol Visitors Centre pada tahun 2008, yang telah sangat meningkatkan penggunaan kongres dan tur umum Perpustakaan Kongres.
Billington meluncurkan program deacidification massal pada tahun 2001, yang telah memperpanjang jangka hidup hampir 4 juta volume dan 12 juta lembaran naskah. Dia membuka modul penyimpanan koleksi baru di Fort Meade, yang pertama pada tahun 2002, untuk melestarikan dan membuat dapat diakses lebih dari 4 juta item dari koleksi analog Perpustakaan. Dia juga mendirikan Komite Pengawasan Keamanan Koleksi Perpustakaan pada tahun 1992 untuk meningkatkan perlindungan koleksi, dan juga Perpustakaan Kongres Kongres Kaukus pada tahun 2008 untuk menarik perhatian ke kurator Perpustakaan dan koleksi.
Billington mengumpulkan setengah miliar dolar dalam bentuk dukungan pribadi dari donor besar seperti John Kluge, Jay Kislak, dan David Packard untuk melengkapi anggaran Kongres untuk koleksi Perpustakaan, program, dan jangkauan digital. Dia menciptakan kantor pengembangan Perpustakaan pertama untuk penggalangan dana pribadi pada tahun 1987, dan, pada tahun 1990, mendirikan James Madison Council , kelompok dukungan donor sektor swasta nasional pertama di Perpustakaan. Billington meminta GAO untuk melakukan audit pertama di seluruh perpustakaan pada tahun 1987. Dia kemudian menciptakan sistem manajemen keuangan baru untuk Perpustakaan dan melembagakan audit keuangan rutin tahunan, yang menghasilkan opini yang tidak dimodifikasi ("bersih") sejak tahun 1995 dan seterusnya. Dia juga menciptakan Kantor Inspektur Jenderal pertama di Perpustakaan pada tahun 1987 untuk memberikan peninjauan independen yang teratur atas operasi perpustakaan. Billington adalah anggota lama dewan penasehat editorial Urusan Luar Negeri dan Teologi Hari Ini, dan anggota Dewan Beasiswa Luar Negeri (1971-1976) —seperti halnya ketua (1973-1975) —yang memiliki tanggung jawab eksekutif untuk pertukaran akademik di seluruh dunia di bawah UU Fulbright-Hays. Dia adalah anggota American Philosophical Society, Akademi Seni dan Ilmu Pengetahuan Amerika dan berada di Dewan John F. Kennedy Center untuk Seni Pertunjukan.
e. AINSWORTH RAND SPOFFORD (1825-1908)
Sejarah modern Library of Congress dimulai ketika Ainsworth Rand Spofford menjadi Pustakawan Kongres, karena Spofford yang mengubah perpustakaan referensi kecil yang melayani Kongres AS menjadi lembaga nasional yang juga melayani publik Amerika. Spofford secara permanen bergabung dengan fungsi legislatif dan nasional Perpustakaan, pertama dalam praktek dan kemudian dalam hukum melalui reorganisasi 1897. Dia memberikan penerusnya sebagai Pustakawan dengan empat prasyarat penting untuk pengembangan perpustakaan nasional Amerika:
1. Dukungan kongres yang kuat untuk gagasan Perpustakaan Kongres baik sebagai lembaga legislatif dan perpustakaan nasional;
2. Awal dari koleksi lengkap Americana;
3. Bangunan baru yang megah, monumen nasional; dan
4. Pustakawan Kongres yang kuat dan independen. Masing-masing Pustakawan Kongres sejak Spofford membentuk institusi dengan cara yang berbeda, tetapi tidak ada yang pernah ragu dari pernyataan Spofford bahwa Perpustakaan adalah lembaga legislatif dan nasional.
Spofford lahir di Gilmanton, New Hampshire, pada 12 September 1825. Dia dibimbing di rumah dan berkembang menjadi pembaca dan mahasiswa yang rajin. Pada tahun 1845, dia pindah ke barat ke Cincinnati dan segera menemukan pekerjaan yang menyenangkan sebagai petugas toko buku di perusahaan ED Truman, penjual buku dan penerbit; berkat usahanya, toko itu segera menjadi pengimpor buku-buku transendentalis New England — pengarang-pengarang favoritnya. Dia adalah salah satu pendiri Klub Sastra di Cincinnati. Pada 1852 ia menikahi Sarah Partridge, seorang guru sekolah yang dulunya berasal dari Franklin, Massachusetts dan mereka memiliki tiga anak: Charles, Henry, dan Florence.
Spofford memulai karir baru pada 1859 sebagai Associate Editor dari surat kabar terkemuka Cincinnati, the Daily Commercial ; dalam editorial pertamanya, berjudul "A Bibliologist," dia menyerang praktik pembelian buku yang naif dari pustakawan kota. Dua tahun kemudian surat kabar mengirimnya ke Washington, DC untuk melaporkan pembukaan Kongres ke-37 dan peresmian Presiden Abraham Lincoln, sebuah perjalanan yang mengarah pada penerimaannya, pada bulan September 1861, dari posisi Asisten Pustakawan Kongres. Berpengetahuan luas, rajin, dan ambisius, ia mengumpulkan dukungan dari banyak anggota Kongres ketika jabatan Pustakawan Kongres menjadi kosong pada akhir 1864. Pada tanggal 31 Desember 1864, Presiden Lincoln menamainya ke pos. Terletak di depan barat US Capitol, Perpustakaan memiliki tujuh staf dan koleksi buku sekitar 82.000 volume.
Spofford segera mulai bekerja membangun peran nasional Perpustakaan, dan ia mengejar tujuan ini dengan energi dan keterampilan politik. Anggota Kongres menyukai dia dan dengan bantuan dari teman-temannya dari Ohio, terutama Rutherford B. Hayes dan James A. Garfield, ia memperoleh dukungan untuk beberapa tindakan legislatif antara 1865 dan 1870 yang memastikan pertumbuhan koleksi dan membuat Perpustakaan Kongres menjadi perpustakaan terbesar di Amerika Serikat. Undang-undang baru termasuk transfer perpustakaan Smithsonian Institution ke Library of Congress, pembelian seharga $ 100.000 dari perpustakaan pribadi kolektor Americana Peter Force, dan penggunaan pertukaran internasional untuk membangun koleksi Perpustakaan. Ukuran baru yang paling penting adalah undang-undang hak cipta tahun 1870, yang memusatkan semua kegiatan pendaftaran dan penyimpanan hak cipta AS di Perpustakaan. Undang-undang baru ini membawa buku, pamflet, peta, cetakan, foto, dan musik ke dalam institusi tanpa biaya, sehingga menjamin pertumbuhan masa depan koleksi Americana dan menyediakan Perpustakaan dengan fungsi nasional yang penting dan unik.
Kepentingan profesional dan pribadi Spofford secara akurat digambarkan dalam judul yang kuat dari Buku A untuk Semua Pembaca, Dirancang sebagai Bantuan untuk Koleksi, Penggunaan, dan Pelestarian Buku dan Pembentukan Perpustakaan Umum dan Swasta (1900).Dia dihormati oleh pustakawan, politisi, dan masyarakat umum, bukan hanya karena prestasinya di Perpustakaan, tetapi juga karena pikirannya yang adil dan antusiasme untuk berbagi pandangannya tentang mata pelajaran favoritnya — membaca, bibliografi, dan mengumpulkan koleksi. Pustakawan Kongres Putnam membayar temannya Ainsworth Rand Spofford penghormatan resmi terakhir dalam Laporan Tahunan Perpustakaan 1908: "Pelayanannya yang paling abadi - peningkatan koleksi (Perpustakaan) - berlanjut hingga beberapa minggu terakhir dalam hidupnya, dan dilanjutkan dengan antusiasme, pengabdian, konsentrasi yang sederhana, sabar, dan sulit yang selalu membedakannya. Sejarahnya selama periode yang paling berpengaruh adalah sejarah Perpustakaan dari tahun 1861 hingga 1897.
f. ABD AL-SALAM
Abd al-Salam merupakan pustakawan dan manajer administrasi yang terkenal dari Perpustakaan Dar al-Kutub di Baghdad. Ia seorang pakar humaniora. Selain itu, ia juga menguasai berbagai cabang pengetahuan, mulai dari ilmu Alquran, hadis, hingga leksikografi.
Melalui tangan dinginnya, perpustakaan ini tumbuh pesat dan menjadi salah satu kiblat pengetahuan di dunia Islam. Menurut Makdisi, ketika meninggal tahun 1014 Masehi, Abd al-Salam dimakamkan di sebelah makam pakar tata bahasa terkemuka, Abu Ali al- Farisi. Ini penghargaan atas kontribusinya dalam memajukan ilmu pengetahuan.
Al Qayrawani pun patut mendapat perhatian, mengingat keahliannya dalam mengelola perpustakaan di Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Seperti halnya Abd al-Salam, dia juga seorang pakar, yakni di bidang filologi. Cendekiawan Muslim, al-Suyuthi, menyatakan al-Qayrawani adalah pustakawan pertama di perpustakaan yang berpengaruh tersebut.
Pustakawan sebagai profesi yang penting di era itu pun dibuktikan oleh kehadiran Abu Manshur Muhammad bin Ahmad al-Khazin. Ia wafat pada 1116 Masehi. Pakar fikih dari mazhab Syiah Imamiyah ini adalah juga pakar humaniora khususnya dalam ilmu tata bahasa dan leksikografi.
Makdisi menjelaskan, sebagai seorang kaligrafer terkemuka, Abu Manshur kerap mendapat tugas menyalin berbagai karya dengan kaligrafinya yang indah. Ia pun dijuluki Sang Pustakawan atau ‘al-Khazin’ karena kepiawaiannya dalam mengelola perpustakaan. Ia menduduki jabatan pustakawan di Dar al-Kutub pada 993 Masehi.
Nama lain yang muncul sebagai pustakawan ternama adalah Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan bin Zarrarah al-Tha'i. Ia hidup pada abad ke-12. Menurut sejarawan al-Salafi, al-Tha’i, tokoh ini memiliki beragam profesi hebat karena keahliannya di berbagai cabang pengetahuan.
Selain sebagai pustakawan, al-Tha'i mengepalai rumah sakit di Iskandariyah. Pakar humaniora yang menetap di Baghdad ini mengurus sebuah perpustakaan masjid yang cukup besar di sana. Di masjid itu, juga terdapat sebuah kelompok studi yang mengkaji masalah humaniora.
Ali bin Ahmad bin Bakr menjelma juga menjadi pustakawan. Sebelum menekuni bidang tersebut, ia belajar leksikografi pada al-Jawaliq dan belajar tata bahasa pada Ibnu al- Syajari. Selama beberapa lama, ia bertugas sebagai pustakawan madrasah. Ia menyalin pula catatan seorang kaligrafer tentang sejumlah buku adab.
Sekian dan terima kasih, semoga bermanfaat
1. Tokoh Ilmu Perpustakaan di Indonesia
a. SULISTYO BASUKI
Sulistyo-Basuki adalah Guru besar Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok. Sulistyo-Basuki, atau akrab dipanggil Pak Sulis (lahir di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 11 September 1941; umur 72 tahun) merupakan putra pertama almarhum Bapak Hardjito dan Ibu Moeridjah Hardjito, yang kedua-duanya merupakan pensiunan guru Sekolah Rakjat di Blitar. Ibunda Moeridjah sempat merangkap pustakawan ketika menjadi guru bantu di Meisjes Vervolgschool Wlingi. Pendidikannya di mulai di Frobel School di Sumbawa Besar (1948), Sekolah Rakjat di Blitar (1954), SMP bagian B (Blitar, 1957), SMA bagian C (Blitar, 1960) kemudian melanjutkan ke Sekolah Perpustakaan, cikal bakal pendidikan arsiparis di Indonesia. Ia memperoleh gelar Sardjana Muda (Universitas Indonesia, 1963), Sarjana Sastra (Universitas Indonesia 1974), Master of Science (Case Western reserve University, Cleveland, Ohio, USA 1980), Master of Arts (1980).
Ia menjadi putra Indonesia pertama yang meraih gelar doktor dalam bidang Information and Library Science dan juga gelar profesor bidang Ilmu Perpustakaan (sejak tahun1995). Gelar doktor diraihnya akhir Juni 1984 di Case Western Reserve University Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. Ia mempertahankan disertasi yang berjudul: A Citation Analysis of Agricultural and Medical Journal Published in Less Developed Countries, With Special Reference to the Regions of Africa Sub-Sahara, Latin America, and Southeast Asia.
Pak Sulis merupakan pengajar dan penulis yang aktif. Buku-buku terbitannya telah menjadi pegangan dasar bagi mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan dan informasi di universitas seluruh Indonesia. Gaya mengajar beliau yang kalem dan bersahaja sangat disukai oleh para mahasiswanya. Salah satu joke yang sering diungkapkannya ketika melihat para mahasiswa kebingungan di kelas adalah “yang bodoh ini pasti saya karena tidak bisa mengungkapkan ide dengan baik”. Beliau adalah profesor yang sangat rendah hati.
Ketika mengajar mata kuliah Metodologi Penelitian untuk mahasiswa tingkat akhir, Pak Sulis tidak henti-hentinya mengingatkan “publish or perish”. Sebuah ungkapan yang sangat tegas dan jelas dan akan selalu dikenang para mahasiswanya. Beliau juga sangat peduli dengan karya cipta. Jangan sekali-sekali membawa buku teks fotocopian di kelas. Hal disiplin lainnya yang diajarkan oleh beliau adalah untuk selalu menyebut sumber tulisan dalam sebuah karya tulis agar tidak disebut dukun.
Jabatan
a. Guru Besar, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (1995-sekarang)
b. Pengajar Program Ilmu Perpustakaan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1990-sekarang)
c. Pengajar, Jurusan Ilmu Perpustakaan (Perpustakaan) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (1975-sekarang)
Pendidikan
a. Sardjana Muda – Universitas Indonesia (1963)
b. Sarjana Sastra – Universitas Indonesia (1974)
c. Master of Science in Library Science– Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1980)
d. Master of Arts (History) – Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1980)
e. Doctor of Philosophy, Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (1984)
f. Diangkat sebagai professor di Universitas Indonesia pada tahun 1995
Pengalaman Kerja
a. 1962–1963 Perpustakaan Yayasan Yamin
b. 1963–1965 Bagian Dokumentasi Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia
c. 1965–1967 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
d. 1967–1977 Departemen Luar Negeri
e. 1977-sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (dahulu Fakultas Sastra) Universitas Indonesia
f. 1984–1986 Pengajar, Ilmu Kedokteran Dasar, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
g. 1990-sekarang Pengajar Program Studi Ilmu Perpustakaan program Pascasarjana Universitas Indonesia
Pengalaman Pelatihan
a. Mengajar berbagai kursus kearsipan yang diselenggarakan oleh Arsip Nasional RI, Arsip Daerah di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Irian Jaya;
b. Pengajar Records Management Course 1995 sampai sekarang.
Pertemuan Internasional
a. Regional Archivists Meeting di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 1994 dan 1995
b. Southeast Asia Branch of International Council on Archives 1995 di Jakarta
c. International Council on Archives Congress di Beijing, RRC (1996) dan Sevilla, Spanyol (2000)
Karya Tulis
Buku
a. Administrasi Arsip: Sebuah Pengantar. Jakarta: 2001
b. Manajemen Arsip Dinamis: Pengantar Memahami dan Mengelola Informasi dan Dokumen. Jakarta: Gramedia, 2003
c. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2006
d. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
e. Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994
Penelitian
Digisation of Collection in Indonesia Academic Libraries: kajian Jaringan Komunikasi Ilmiah di Indonesia dengan Menggunakan Analisis Subjek & Analisis Sitiran.
b. DAUDZAN FAROUK
Dauzan Farouk merupakan Bapak delapan putra-putri kelahiran Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1925 itu, mendirikan Mabulir karena terinspirasi dari masa kecilnya membantu ayahnya, H. Muhammad Bajuri, yang mengelola Taman Pustaka Muhammadiyah pada zaman sebelum Indonesia Merdeka. Pada tahun 1989 Mbah Dauzan menghabiskan uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 untuk membeli buku kemudian mendirikan perpustakaan bergilir bernama Mabulir. Mbah Dauzan pun berkeliling kota Gudeg mengedarkan buku-bukunya secara gratis.
Setiap hari sejak bangun tidur, lelaki tua itu membaca buku, merapikan dan memperbaiki sampul sebagian buku-bukunya yang mulai rusak. Aktifitas meminjamkan aneka buku dilakukannya sore hari dengan bersepeda atau naik bis kota. Ia mendatangi kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja mesjid, dan pemuda Karang Taruna. Kelompok pengajian, tukang becak yang tengah mangkal, bahkan para ibu penjual di pasar-pasar, tak luput menjadi ‘sasaran’ untuk dipinjami buku secara gratis.
Konsistensinya membuahkan penghargaan seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005 , Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge. Pada April 2007 di acara World Book Day Indonesia, Mbah Dauzan Farouk mendapat gelar sebagai Pejoeang Literasi Indonesia.
Tapi tentu bukan penghargaan yang Mbah Dauzan cari. Namun tentu ini adalah kata hati yang direalisasikan dalam bentuk nyata untuk suatu nilai yang tidak kuantitatif.
Saat kecil, saya memang lumayan hidup berkecukupan aneka buku dari orangtua. Mulai dari buku pengetahuan umum, biografi ringan, komik-komik, buku dogeng, maupun majalah dan Koran. Saat berkunjung ke perpustakaan daerah saya sempat berkomentar dalam hati, “Lho, ternyata masih lebih menarik koleksi buku di rumah saya.” Tapi mohon maaf kepada siapapun yang tersinggung pada pikiran saya saat itu, karena saya baru sadar setelah beranjak dewasa bahwa tidak semua orang bernasib seperti saya. Orangtua saya, meski kondisi hidup bukan terbilang mewah, namun masih meluangkan uangnya untuk menambah khazanah pengetahuan semua anak-anaknya. Selain itu, saya kebetulan mengenyam pendidikan dari sekolah dasar hingga menengah atas di sekolah yang perpustakaan nya memadai dari segi fisik ruangan maupun koleksi.
Akan tetapi, tentu tidak semua bisa seperti saya kecil. Ongkos produksi buku yang terus menerus melambungkan harga jual, begitu banyak pilihan buku yang tidak bisa diikuti kondisi finansial, atau karena kebutuhan primer yang mau tidak mau harus dicukupi sehingga buku menjadi prioritas tersier, masalah aksesbilitas bacaan, dan problematika mencerdaskan bangsa, tentu menjadi salah satu dari sekian banyak alasan mengapa kita membutuhkan banyak Mbah Dauzan.
Mbah Dauzan selalu membaca semua buku sebelum dipinjamkan kepada para pelanggan, walaupun untuk membacanya harus menggunakan kaca pembesar, sebagai bentuk ingin memberikan bacaan yang terbaik. Lelaki yang tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sastra Timur Universitas Gadjah Mada itu telah mengambil peran dalam mencerdaskan manusia melalui buku bacaan yang dipinjamkan dari satu tangan ke tangan lain. Namun satu hal yang harus diingat pula, ketika berurusan dengan ‘pinjam meminjam buku’ maka problem lainnya adalah kadang pembaca buku tidak memperlakukan buku dengan layak.
c. MUHAMMAD AZWAN, M. Hum
Muhammad Azwar lahir di Ujung Pandang, 15 Januari 1980. Anak kelima (bungsu) dari pasangan Letkol (Purn). Inf. Drs. Abdul Muin (almarhum) dan Siti Rachima. Pendidikan dasar ditempuh di SDN 02 Sengkang (1987-1992). Kemudian melanjutkan di SMP Muhammadiyah V Mariso di Ujung Pandang hingga 1995. Pada tahun 1998 berhasil menyelesaikan pendidikan di SMUN 02 Ujung Pandang. Meraih gelar sarjana pertama di STAI Madinatul Ilmi, Depok jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah pada tahun 2005. Memperoleh kesempatan belajar dengan beasiswa dari Kementerian Agama di Universitas Indonesia jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi tahun 2009 dan memperoleh gelar Magister tahun 2011.
Karya Ilmiah
1. MODS Metadata Alternatif dalam Pengembangan Aplikasi Perpustakaan Digital di Indonesia (Studi Kasus Senayan Library Management System) tahun 2012
2. Information Literacy Skills : Strategi Penelusuran Informasi Online tahun 2013
3. Penerapan Knowledge Management (Studi Kasus SDIT Al-Hamidiyah Depok) tahun 2013
4. Membangun Sistem Otomasi Perpustakaan dengan Senayan Library Management System (SLiMS) tahun 2013
5. Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan upaya pustakawan mengidentifikasi informasi realitas tahun 2014
6. Penerapan Sistem Otomasi di Perpustakaan Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Alauddin Makassar tahun 2015
7. Pemanfaatan Fitur Z39. 50 pada SLiMS (Studi Kasus di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin) tahun 2016
8. Pemanfaatan Jurnal Elektronik oleh Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin tahun 2015
9. Peranan Perpustakaan Sekolah dalam Mendukung Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Di SMA Negeri 1 Sinjai Tengah tahun 2016
10. Kemampuan Mahasiswa dalam Menelusuri dan Mengevaluasi Informasi Berbasis Internet (Studi Kasus Mahasiswa JIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Angkatan 2007) tahun 2011
11. Manajemen tata ruang perpustakaan pesantren madani Alauddin Pao-Pao Makassar tahun 2017
d. PUTU LAXMAN PENDIT
Tokoh Pustakawan Indonesia Putu Laxman Pendit Nama : Putu Laxman Sanjaya Pendit TTL : Jakarta, 3 September 1959 Nama Orang Tua : a. Ayah : Nyoman S. Pendit b. Ibu : Murtini S. pendit Nama Istri : Meily Zulia Nama Anak : a. Shasha Kanitrisutra b. Raudry Bungadyarti Putu Laxman Sanjaya Pendit atau sering disebut dengan Putu Laxman Pendit ialah seorang pustakawan yang mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu dibidangnya antara lain sebagai penulis, peneliti, pendidik dan pengajar bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Kiprahnya sangat dikenal dikalangan para pustakawan yang haus dengan isu dan hal-hal fundamental tentang kepustakawanan. Gagasan-gagasan segarnya selalu muncul dan menjadi topik diskusi yang hangat bagi pemerhati kepustakawanan Indonesia. Ia sosok pustakawan yang terbuka dan menerima saran atau kritikan yang sekiranya dapat membangun lebih baik karya-karyanya. Banyak perubahan-perubahan yang ia lakukan diantaranya penggunanaan perpustakaan digital yang dapat memudahkan masyarakat (pengguna) untuk mengakses informasi serta kreatifitas pustakawan untuk menarik minat pengunjung untuk datang ke perpustakaan. Seorang pustakawan harus proakftif dalam meningkatkan keterampilan sehingga tidak perlu menunggu pihak ketiga untuk bertindak terlebih dahulu untuk menyelesaikan apa yang telah menjadi pekerjaan pustakawan. Selain itu ,pustakawan dituntut untuk dapat meningkatkan kemampuan dirinya sendiri dan dengan demikian dapat terbukti dimasyarakat bahwa ia dapat diandalkan.
Gaya kepemimpinannya menggunakan model kepemimpinan demokratis karena berorientasi pada partisipasi masyarakat, bersifat terbuka, bawahan diberikan kesempatan untuk memberi saran, dan menghargai waktu serta pengambilan keputusan lebih mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Namun Putu Laxman Pendit juga sering bersikap ambisius, karena akibat keambisiusannya ia mampu berkontribusi terhadap peran pustakawan dalam melayani masyarakat akan kebutuhan informasi. Untuk itu kepemimpinan Putu Laxman Pendit dalam hal ini berpegang teguh pada tiga konteks utama yakni : komitmen, kompleksitas, dan kredibilitas.
Pendidikan
· Sarjana dari Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial & Ilmu Politik) (1986)
· Master dalam Information Science dari Loughborough University of Technology, Inggris Raya (1988)
· Ph.D dari School of Business Information, RMIT University, Melbourne Australia (1997-2000) dengan disertasi berjudul “The use of Information Technology in Public Information Services: an interpretive study of structural change via technology in the Indonesian Civil Serviceâ€
Pengalaman Kerja
· Asisten dosen matakuliah komunikasi, media, dan jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (1982)
· Editor bidang teknologi dan luar negeri untuk Majalah Berita X-tra milik Femina Group (1985 – 1987)
· Pengajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia (1988-2004)
Karya Tulis Penelitian
· Penerapan teknologi hipertext untuk sistem informasi arkeologi.
Buku
· Menjadi Penulis: Membina Jemaat yang Menulis (sebagai penerjemah)
· Empat Teori Pers (terjemahan) (1986)
· Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi, sebuah pengantar diskusi Epistemologi & Metodologi (2003)
· Mata Membaca, Kata Bersama (2007)
· Perpustakaan Digital Dari A sampai Z (2008)
· Kesinambungan dan Dinamika Perpustakaan Digital (2008)
e. JNB TAIRAS (Tokoh Katalogisasi dan Klasifikasi Indonesia)
J.N.B. Tairas merupakan seorang pustakawan yang pertama menjadi wakil Indonesia dan sekaligus sebagai pemakalah pada International Conference on Cataloguing Principles (ICCP) yang dilaksanakan di Paris pada oktober 1961, hasil dari konreferensi tersebut kemudian dikenal dengan Paris Principles. Pada konferensi tersebut beliau membawakan makalah berjudul “Cataloguing of Indonesia Names”.
Karya-Karya J.N.B. Tairas
· Dunia Perpustakaan mulai ditekuni oleh J.N.B. Tairas tahun 1952-1954 dengan bekerja pada Perpustakaan Rakyat Makasar,
· Tahun 1956-1957 bekerja di Perpustakaan Rakyat Pusat di Jakarta. Juga bekerja sebaghai pustakawan di The Library of Congress Aquisition Office Jakarta,
· Tahun 1964 – 1975 (sebagai Chief Cataloger), dan editor Library of Congress Accession List.
· Tahun 1965 – 1967 juga bekerja di Perpustakaan Lemhanas,
· 1976 – 1980 bekerja sebagai pustakwan freelance di berbagai perpustakaan swasta maupun instansi pemerintah.
· Dari tahun 1991 sampai dengan wafatnya J.N.B. Tairas bekerja sebagai konsultan di Perpustakaan Nasional RI, dan menangani proyek-proyek tertentu di perpustakaan tersebut. Hingga hari tuanya, karena dedikasi yang tinggi terhadap dunia kepustakawanan di Indonesia Tairas tetap aktif mengikuti kegiatan-kegiatan dunia perpustakaan.
Pada saat bekerja di Perpustakaan Rakyat Makasar, beliau mendalami Universial Decimal Calsification, pedalaman sistem klasifikasi dilakukan karena sistem itu digunakan di perpustakaan tersebut. J.N.B. Tairas memiliki kemauan yang sangat tinggi dalam bidang katalogisasi dan klasifikasi, ini dibuktikan dengan kesukaanya pada mata kuliah pelajaran katalogisasi dan klasifikasi saat belajar di KPAP dan Library School diNew Zeland (Hasugian, 2003). Hasil karya dalam bidang katalogisasi yang pernah dihasilkan, yaitu pada tahun 1960 bersama dengan Rojani menyusun Daftar Tajuk Subyek (tidak sempat diterbitkan). Sekembalinya dari Paris sebagai wakil Indonesia dan sekaligus sebagai pemakalah pada International Conference on Cataloguing Principlestahun 1961, keinginan untuk mendalami katalogisasi dan klasifikasi semakin kuat, sehingga akhirnya menjadi karya-karya yang dapat dipakai sebagai alat pengolahan bahan pustaka.
Pada saat Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia tanggal 5-7 Juli 1973, beliau menyatakan bahwa walaupun pendidikan perpustakaan di Indoneisa sudah berusia 20 tahun, namun sangat sedikit yang dicapai dalam bidang katalogisasi dan klasifikasi. Hal tersebut terdapat dalam maklalahnya yang disampaikan pada acara tersebut, yang berjudul ”Tinjauan Klasifikasi dan Katalogisasi Dewasa ini di Indonesia”. Di dalam tahun yang sama (1973) J.N.B. Tairas menghasilkan sebuah karya bibliografi dengan judul ”Daftar Karya Bibliografi Indonesia”, bibliografi tersebut diterbitkan oleh Lembaga Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
J.N.B. Tairas pada tahun 1976 bersama Tim dari Pusat Pembinaan Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan buku Peraturan Katologisasi dan Nama-Nama Indonesia. Setahun kemudian (1977) Menerjemahkan buku Interntioanl Standard Bibliographic Description For Monographic Publication atau ISBD(M) dalam bahasa Indonesia.
Disusul dengan diterbitkanya ”Peraturan Mengkatalog Terbitan Berseri : Pertauran menentukan tajuk entri utama untuk majalah terjemahan, surat kabar, termasuk terjemahan ISBD(S) pada tahun 1978. Upaya yang dilakukan oleh J.N.B. Tairas ini merupakan titik awal untuk menyingkap salah satu aspek yang paling penting dalam sejarah pengatalogan bahan pustaka di Indonesia. Karya yang dihasilkan selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Perturan Katalogisasi Indonesia , J.N.B. Tairas dan Soekarman (1980) dan pada tahun 1982 dicetak ulang.
2. Pedoman Tajuk Subyek Perpustakaan, J.N.B. Tairas dan Soekarman (1990) yang diterbitkan oleh Penerbit BPK Gunung Mulia.
3. Daftar Tajuk Subyek untuk Perpustakaan Edisi ke 4, (1992), J.N.B. Tairas sebagai Koordinator Tim Penyusun. buku tersebut dicetak ulang poada tahun 1994.
4. Simplikasi Katalog Suatu Trend Katalogisasi Masa Kini (1995). Makalah disampaiakn pada Kongres ke 7 Ikatan Pustakwan Indonesia, tanggal 20-23 Nopember di Jakarta.
5. Universal Decimal Clasification (UDC) : Pedoman Pemakaian (1978) dengan tim Badan Pembinaan Hukun Nasional.
6. Klasifikasi Desimal Universal, terjemahan (1980), diterbitkan BPHN.
7. Pedoman Tajuk Subyek untuk Perpustakaan Umum dan Sekolah, (1977) diterbitkan oleh Pusat Pembionaan Perpustakaan Departemen P dan K.
8. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey, edisi pertama.. J.N.B. Tairas Bersama Towa Hamakonda (1978), kemudia pada tahun 1982 direvisi lagi, selanjutnya setelah wafatnya Towa Hamakonda, terbit edisi 5 (revisi)
9. Klasifikasi Bahan Pustaka Tentang Indonesia Menurut DDC. J.N.B. Tairas dan Soekarman (1993) dan diterbitkan kembali dengan revisi tahun 1996.
10. Pengembangan Sistem Klasifikasi Bahan Hukum Menurut UDC (1997). Sebagai Ketua Tim
Beliau sangat senang berorganisasi, hal tersebut terbukti dengan aktivitas beliau dalam organisasi kepustakawanan. Seperti dinyatakan oleh Hasugian (2003), bahwa J.N.B. Tairas adalah sosok Pustakawan yang tak pernah lupa akan organisasi profesinya, bahkan beliau adalah tokoh dan pelaku dalam perjalanan sejarah Organisasi profesi pustakawan hingga sekarang menjadi .Ikatan Pustakawan Indonesia. Aktivitas Organisasi J.N.B. Tairas, sebagai berikut :
1. 1953, J.N.B. Tairas sudah aktif menjadi anggota Asosiasi Pustakawan Indonesia (API) di Makasar.
2. Ketua Ikatan Siswa Pendidikan Ahli Perpustakaan (ISPAP) tahun 1954.
3. Sekretaris II Pengurus Perhimpunan Ahli Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (PAPADI), 1957
4. APADI (Assosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia) tahun 1962, disini J.N.B. Tairas duduk sebagai Wakil Ketua. (merupakan perubahan dari PAPADI).
5. Ketua IPI Cabang Jakarta, 1973-1975
6. Ketua I IPI Cabang Ibu Kota Jakaarta, 1980-1983
7. Anggota Badan Pembina IPI, 1989-1992
Selain aktif dalam organisasi profesi, beliau adalah merupakan motor penerbitan majalah yang dari organisasi profesi tersebut, beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Redaksi Majalah Ikatan Pustakwan Indonesia.
Pada tahun 1975 bersama Rojani, J.P. Rompas, Bambang Sumantri, H.A.K. Bachrudin, Darlis Ismail, Rosali Said, dan Sudariah Nasution, mendirikan dan mengajar di Lembaga Perpustakaan Dokumentasi dan Informasi (LPDI) Jakarta. LPDI telah menghasilkan 62 angkatan hingga tahun 1997. Hal tersebut menunjukkan kepedulian dari J.N.B. Tairas akan dedekasinya pada kepustakawanan Indonesia.
f. BLASIUS SUDARSONO
Nama Blasius Sudarsono tempat tanggal lahir Solo, 02 Februari 1948; umur 65 tahun, beliau tumbuh di lingkungan pendidik karena orangtuanya adalah guru sekolah dasar. Pak Dar sewaktu kecil gemar mengutak-atik barang elektronika. Bahkan pelajaran ilmu pengetahuan alam untuk anak SMP sudah ia pelajari sewaktu kelas lima SD. Tidak heran apabila ia terobsesi menjadi seorang ilmuwan. Ketika lulus SMA, ia ingin belajar elektro arus lemah. Tapi karena orangtuanya menginginkannya menjadi arsitek, dicobalah mendaftar di jurusan elektro dan arsitektur ITB. Hanya diterima di jurusan elektro, ia tidak memanfaatkannya. Orangtuanya kemudian ingin memasukkannya ke sekolah elektronika milik Angkatan Laut. Tapi lantaran tak ingin menjadi tentara, tawaran inipun ditampiknya. Akhirnya kuliah di jurusan fisika murni UGM menjadi pilihannya hingga tingkat sarjana muda. Karena terlalu lama menunggu dibukanya program sarjana penuh, Pak Dar memilih bekerja di perpustakaan LIPI.
Mengawali karir sebagai staf urusan servis teknis, memberi keuntungan bagi Pak Dar karena menjadi orang yang pertama bersentuhan dengan teknologi maju dan mahal pada saat itu; komputer. Semua hal mengenai komputer dipelajari secara otodidak. Begitu juga dengan kepustakawanan yang ia pelajari dengan cara “mendengar”. Berkat ketekunannya, dalam waktu lima tahun, datang tawaran untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana ilmu perpustakaan di Amerika dengan skema beasiswa. Sepulang dari pendidikan, Pak Dar mendapat jabatan baru menjadi Kepala Urusan Servis Teknis dan menjadi pengajar di program sarjana dan pascasarjana Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia. PDII-LIPI menyelenggarakan Kuliah Umum Bersama Blasius Sudarsono sejak Juli 2011 dengan tema-tema fundamental yang beragam dan bisa diikuti secara gratis oleh para pustakawan maupun pemerhati kepustakawanan. Blasius Sudarsono adalah tokoh pustakawan yang mempunyai padangan baru mengenai kepustakawanan di Indonesia, beliau menggunakan pendekatan melalui perspektif filsafat kepustakawanan, yang belum pernah ada di Indonesia. Universitas yang mempunyai jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi seperti di UI, UGM, UNPAD, UNAIR, UWK, UB, UIN, YARSI, dll, baru di UNPAD yang ada mata kuliah filsafat kepustakwanan. Basius Sudarsono adalah cikal bakal pengajar di Indonesia.Kontribusi pemikiran Blasius Sudarsono untuk perpustakaan dan pustakawan masa kini adalah filsafat kepustakawanan.
Pertanyaan tetang hakikat kepustakawanan sampai kini masih setia menjadi pendamping perjalan hidup seorang tokoh dan sekaligus pemerhati pustakawan Indonesia. Blasius Sudarsono namanya, beliau sangat terobsesi untuk menemukan rumus dasar yang dapat digunakan untuk menerangkan semua fenomena tentang perpustakaan, termasuk semua hal yang terkait di dalamnya. Mungkin saja ia tidak akan berhasil menemukan hal itu. Namun ia berharap ada sejawat lain, yang kelak akan berhasil menemukan hakikat atau teori dasar kepustakawanan Indonesia. Kepustakawanan Indoenesia menurut ia dimaksudkan sebagai ilmu perpustakaan dan seni menerapkanya di Indonesia. Bagi Pak Dar. Harus ada bedanya anatara Library Science yang mungkin bersifat universal danIndonesian Librarianship yang harus berakar dan bercirikan khas Indonesia. Ia memahami, jika banyak sejawat pustakawan Indonesia yang tidak setuju denganya.
Filsafat kepustakawanan Driyarkara yang dipakai oleh Blasisus Sudarsono dalam mencari makna kepustakawanan. Driyarkara membedakan antara filsafat sebagai ilmu (yang tidak dibahas dalam tulisan ini), dan filsafat dalam arti yang lebih luas yaitu dalam arti: usaha mencari jawab atas berbagai pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu. Dikatakan pula bahwa filsafat adalah pernyataan/penjelmaan dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap orang. Maka walaupun tidak setiap orang dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat itu memang berarti bagi kita semua. Pustakawan adalah orang (manusia). Maka jika kita memakai kalimat Driyarkara dengan mengganti kata orang dengan kata pustakawan dan sedikit memodifikasikannya, maka akan diperloleh kalimat berikut: Filsafat kepustakawanan adalah pernyataan/penjelmaan dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap pustakawan. Maka walaupun tidak setiap pustakawan dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat kepustakawanan itu memang berarti bagi semua pustakawan.
Pemikiran Blasius Sudarsono di atas, dapat disimpulkan bahwa beliau menekankan pada aspek falsafah humanisme dengan filsafat Driyarkara yang di dalamnya lebih menfokuskan pada sisi kemanusianya, artinya pada diri seorang pustakawan harus terdapat keilmuan yang menjadi cikal-bakal bagi pustakawan itu sendiri untuk lebih mengenal hakikat pustakawan dengan menumbuh kembangkan kepustakawananya dikarenakan hal tersebut merupakan akar yang ada pada diri seorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang pustakawan dengan tumbuh sifat kepustakawanan tersebut, diharapkan pustakawan dapat bekerja secara ideal dan profesional dalam melayani dan menyediakan informasi kepada pemustaka.
Menurut Pak Dar, ada 4 pilar kepustakawanan yang harus dimiliki seorang Pustakawan, yaitu:
· Pustakawan harus menjadi pangggilan hidup
· Pustakawan adalah semangat hidup (spirit of life)
· Pustakawan adalah karya pelayanan
· Dilaksanakan dengan profesional, kemauan dan kemampuan selalu beriringan
g. LASA HARSANA
Lasa Harsana merupakan salah satu pustakawan yang ulung. Beliau terus meningkatkan progresifitas intelektualnya sehingga jabatan pustakawan utama (setaraf guru besar pada jabatan fungsional dosen di perguruan tinggi) telah diperoleh pada September 2007. Lebih dari 200 artikel hasil pemikiran beliau telah dimuat di media cetak Yogyakara, Surakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, Jakarta, Riau.
Lasa Harsana (Lasa Hs), dilahirkan di Boyolali pada 1 Januari 1948. Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan awal beliau dapatkan dari kedua orang tuanya, dilanjutkan ke Sekolah rakyat islam mamba’ulum di Boyolali selama, selanjutnya ke Madrasah tsanawiyah al-Islam di Boyolali, dan menyelesaikan Madrasah ‘Aliyah al-Islam di Surakarta. Pendidikan berkarakter islam dan dengan menjaga konsistensi hingga saat ini beliau bersosok religius.
Pendidikan kesarjanaannya ditempuh pada program studi Bahasa Arab Fakultas Sastra dan Kebudayaan (sekarang fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1979. Kemudian beliau memperoleh pendidikan dan latihan perpustakaan di UGM tahun 1973, penataran Perpustakaan Kopertis wilayah V DIY, Program sertifikat ahli perpustakaan Fak. Sastra UI Jakarta, magang pengelolaan terbitan berkala di UPT Perpustakaan ITB Bandung, penataran tim penilai angka kredit pustakawan Tk. Nasional di Perpusnas RI Jakarta. Sedangkan gelar Magister Sains Manajemen Perpustakaan dari Pascasarjana UGM tahun 2002.
Profesi sebagai pustakawan ditekuni sejak tahun 1972 dan dikukuhkan sebagai pustakawan utama pada tahun 2007 di UPT Perpustakaan UGM unit I. Pernah bekerja di perpustakaan Fak. Teknologi Pertanian UGM (1972-Oktober 2006). Perpustakaan Akademi arsitektur YKPN (1975-1980). Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Fakultas kehutanan UGM. Institut Pertanian Yogyakarta (1983-2008). Pernah menjabat sebagai kepala bidang pelayanan perpustakaan UGM (Nov 2006- Jan.2012). Kini Kepala Perpustakaan Ubiversitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selain pustakawan, beliau juga pernah berprofesi sebagai guru SMP Muh. Depok (1972-1973, dosen agama islam di Akademi Manajemen Putra Jaya (1985-1990, dosen agama islam di Institut Pertanian (1983-2006), dosen D3 Ilmu Perpustakaan FISIPOL UGM dan Fak. Adab UIN SUKA (1999-), dosen program studi manajemen inf. dan perp. FISIP UGM (1992-2005), dosen Fak. Teknologi Pertanian UGM (2002-2011), dosen Pascasarjana Ilmu perpustakaan IIS UIN Suka (2009-2011), dosen ilmu perpustakaan UT Surakarta dan DIY.
Di organisasi profesi, beliau pernah menjadi anggota pengurus IPI DIY (1990-1993), anggota pengurus majelis pustaka PP Muhamadiyah (1995-2000), wakil ketua forum perpustakaan perguruan tinggi indonesia DIY (2003-2006), anggota pengurus lembaga pustaka dan informasi PP Muhamadiyah (2005-2010), wakil ketua lembaga pustaka dan informasi PDM kota Yogyakarta (2005-2010), anggota pengurus majelis pustaka& informasi PP Muhamadiyah (2011-2015), pendiri himpunan pengelola perpustakaan sekolah muhamadiyah kota Yogyakarta, ketua forum silaturahim perpustakaan perguruan tinggi muhamadiyah (2012-2014).
Di bidang redaksional, pernah menjadi redaksi buletin Al Fata, Al Fikr, Agritech (Fak. Tekn. Pertanian UGM), Media informasi (Perp. Pusat UGM), Berkala ilmu perpustakaan dan informasi (Perpustakaan Pusat UGM), Palmisest (jur. Ilmu perpustakaan FISIPOL UNAIR Surabaya), Mentari (PDM kota Yogyakarta, dan reviewer unilib (Direktorat Perpustakaan UII Yogyakarta).
Aktivitas beliau saat ini adalah Kepala Perpustakaan UMY, asesor BAN PT DIKTI Kemendikbud RI, anggota Tim perumus standar nasional perpustakaan sekolah dan standar nasional perguruan tinggi, anggota pengurus dewan perpustakaan DIY, anggota tim penilai jabatan fungsional pustakawan UII Yogyakarta, pembicara dalam berbagai seminar.
Hasil Karya
Lasa Hs mulai aktif menulis sejak remaja. Pada awalnya beliau banyak menulis dengan topik keagamaan. Seiring perjalanan waktu beliau konsen pada empat topik penulisan yaitu religi (agama), kepustakawanan, penulisan, dan manajemen. Sampai saat ini telah lebih dari dua ratus artikel hasil pemikiran beliau dimuat di media cetak Yogyakara, Surakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, Jakarta, Riau. Beberapa artikel tersebut antara lain peran informasi IPTEK dalam alih informasi (Media Informasi, IV (2) Juni 1997), Celah-celah tulisan pustakawan (Media Pustakawan, IV (3) September 1997), Pengembangan karir dan profesi pustakawan (Buletin Perpustakaan, (2) April 1997), Dibalik angka kredit dan pengumpulannya (Wahana Informasi Perpusdokinfo, Vol. 18, Ed. Juli 2014).
Adapun karya tulis dalam bentuk buku 45 judul, diterbitkan oleh 13 penerbit dan masih terdapat beberapa dalam bentuk draff. Adapun judul buku hasil pemikiran beliau antara lain Ensiklopedi Muhammadiyah (karya bersama, Rajagrafindo, 2005), Kamus istilah perpustakaan (Kanisius, 1990, 1993, Gadjah Mada University Press, 1998), Membina Perpustakaan Sekolah Islam dan Madrasah (dicetak 10.000 eks. Oleh Adicita Karya Nusa, 2004), Manajemen Perpustakaan (Ga ma Media, 2005), Petunjuk Pengelolaan Perpustakaan Masjid (Gadjah Mada University Press, 1998), Manajemen Perpustakaan Sekolah (Pinus, 2007), Manajemen Perpustakaan Sekolah/ Madrasah (Ombak, 2013), dan yang lainnya.
Adapun kontribusi pemikiran Lasa Hs bagi dunia kepustakawanan, antara lain:
a) Lasa Hs telah mencurahkan pemikirannya melalui tulisan yang dapat digunakan sebagai referensi yang tentu saja bermanfaat bagi perkembangan kepustakawanan di Indonesia, salah satu kasil karya bidang kepustakawanan adalah Kamus Istilah Perpustakaan yang menjadi trademark Lasa Hs.
b) Berperan serta dalam penyusunan Standar Nasional Perpustakaan Sekolah
c) Menjadi asesor BAN PT DIKTI Kemendikbd RI.
d) Berperan dalam pengembangan pendidikan formal bidang perpustakaan di Indonesia
2. Tokoh Ilmu Perpustakaan di Dunia
a. MELVIL DEWEY
Ketika kita pergi ke perpustakaan besar, kemudian mencari buku yang diinginkan di katalog komputer. Ternyata setelah dimasukan judul buku dan pengarangnya ternyata kode bukunya adalah 150.195.FRO.c. Apakah kita mengerti apa maksud dari nomor-nomor dan huruf-huruf tersebut. Dengan membawa nomor panggil buku tersebut, kita kembali pada petugas perpustakaan, yang kemudian membantu hingga menemukan buku yang dibutuhkan.
Sesungguhnya nomor-nomor tersebut adalah nomor klasifikasi yang digunakan oleh perpustakaan dalam menyusun koleksi buku yang ada agar buku-buku yang sejenis dapat terkumpul berdekatan, misalnya berdasarkan bidang ilmunya.
Selain itu, sistem pengklasifikasian tersebut akan memudahkan dalam pencarian atau pun pengembalian buku. Ada beberapa macam sistem pengklasifikasian buku yang digunakan di berbagai perpustakaan. Namun, sistem yang paling banyak digunakan oleh perpustakaan-perpustakaan adalah sistem klasifikasi Dewey Decimal Classification (DDC). DDC digunakan oleh perpustakaan di lebih dari 130 negara. Hingga saat ini, DDC telah digunakan lebih dari satu abad. Hal ini tentu tidak terlepas dari sistem/cara kerja DDC yang dipandang paling memadai dalam mengakomodasi perkembangan dunia perpustakaan dan perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Sistem pengklasifikasian buku DDC ditemukan oleh Melvil Dewey, seorang pustakawan berkebangsaan Amerika Serikat, yang hidup pada paruh kedua abad ke-19 hingga awal abad 20. Tulisan ini bermaksud memperkenalkan sosok Melvil Dewey, sang penemu sistem DDC, proses hingga ditemukannya sistem DDC, dan sekilas tentang cara kerja sistem DDC.
Melvil Dewey lahir pada 1851 di Adams Center, sebuah kota kecil yang masih menjadi bagian New York. Orang-tuanya memberi nama Melville Louis Kossuth Dewey. Nama Louis Kossuth diambil dari nama Lajos Kossuth, seorang pejuang revolusi Hungaria yang pada masa itu sangat terkenal setelah usahanya pada 1848.
Sejak masih kanak-kanak, Melvil Dewey telah menunjukkan ketertarikan yang kuat terhadap buku. Ada anekdot yang menceritakan bahwa dia menyelamatkan banyak buku di perpustakaan pada saat sekolahnya terbakar pada 1868. Ketika itu, dia terlalu banyak menghirup asap sehingga dia menderita batuk kronis yang tidak kunjung sembuh. Oleh dokter yang merawatnya, dia diberitahu bahwa hidupnya mungkin tidak akan lama lagi. Sejak itu, dia menjadi sangat terobsesi untuk melakukan efisiensi, dilatarbelakangi oleh perasaan bahwa dia tidak memiliki cukup banyak waktu. Selain sistem DDC, Dewey juga menciptakaan sistem ejaan yang disederhanakan, dan sistem stenografi. Temuan-temuannya tersebut mungkin tidak terlepas dari peristiwa kebakaran tersebut.
Sebelum Dewey menemukan DDC, tidak ada sistem yang seragam yang dipergunakan oleh perpustakaan-perpustakaan untuk mengklasifikasikan koleksi buku-bukunya. Masing-masing perpustakaan memiliki dan mengembangkan sistemnya sendiri-sendiri. Bahkan ada perpustakaan yang mengelompokkan bukubuku berdasarkan ukurannya, tidak peduli temanya. Penomoran buku pun dilakukan berdasarkan nomor rak di mana buku disimpan. Misalnya, buku-buku yang disimpan di rak nomor 100C akan diberi nomor 100C. Jadi, nomor buku mengacu pada nomor rak. Sistem penomoran semacam ini disebut sistem “fixed location.” Sistem ini menimbulkan kesulitan yang tidak kecil. Masalahnya adalah ketika ada penambahan koleksi buku perpustakaan yang sampai menyebabkan buku-buku yang sudah ada harus digeser ke rak yang lain, maka nomor buku-buku tersebut pun harus diubah, menyesuaikan dengan nomor raknya yang baru. Perubahan nomor buku pun akan berdampak pada harus diubahnya kartu katalog buku-buku tersebut, karena nomor buku yang tercantum dalam katalog pun harus diubah.
Keadaan seperti itu mendorong Dewey untuk menemukan suatu sistem pengklasifikasian buku yang baru. Sesungguhnya Dewey tidak menemukan sistem yang sama sekali baru. Sebelum Dewey menemukan sistemnya, sudah ada beberapa sistem pengklasifikasian buku. Misalnya, Charles A. Cutter membuat sistem klasifikasi berdasarkan topik, dan Nathaniel Shurtleff melakukan penomoran menggunakan sistem desimal. Inovasi yang dilakukan oleh Dewey adalah menggabungkan sistem pengklasifikasian berdasarkan topik dan penomoran dengan sistem desimal. Namun, nomor tidak mengacu pada rak, melainkan pada bidang ilmu.
Inovasi penting dari DDC adalah penomoran DDC tidak secara langsung merujuk pada lokasi buku. Nomor DDC hanya memberitahu letak relatif suatu buku di antara buku-buku yang lain. Untuk menemukan sebuah buku, dibutuhkan informasi tambahan, misalnya denah rak yang menginformasikan di mana buku-buku dengan nomor-nomor tertentu ditaruh. Hal ini berbeda dengan sistem “fixed location”, di mana nomor buku sama dengan nomor rak tempat buku tersebut disimpan. Berkat inovasi dari DDC ini, kita tidak perlu lagi mengalami masalah yang dihadapi bila menggunakan sistem “fixed location”. Bila perpustakaan menambah buku yang menyebabkan beberapa buku harus dipindah ke rak yang lain, maka denah lokasi saja yang perlu diubah, tidak perlu keseluruhan katalog.
Satu kelebihan lain dari sistem DDC adalah memudahkan untuk ditambahkannya subjek/tema-tema baru. Pada saat pertama kali diterbitkan pada 1876, manual DDC hanya terdiri dari 44 halaman. Sedangkan dalam Edisi 21 yang diterbitkan pada 1996, manual DDC mencapai tebal lebih dari 4000 halaman. DDC memungkinkan penambahan subjek baru karena DDC menggunakan sistem desimal. Dewey mulai dengan membagi jenis-jenis pengetahuan ke dalam kategori-kategori dasar yang kemudian diberi nomor-nomor utama (main class). Selanjutnya, mudah untuk membagi kategori-kategori dasar tadi menjadi bidang-bidang yang lebih mendetail, yang ditandai oleh nomor-nomor di sisi kanan titik desimal. Dengan sistem seperti ini, DDC dapat mengakomodasi perkembangan pengetahuan sejak masa Dewey hingga saat ini.
CARA KERJA SISTEM DDC
Dewey membagi berbagai disiplin pengetahuan yang ada ke dalam sepuluh kelas utama (main class), dengan satu “Generalities”. Selanjutnya, kelas-kelas utama tersebut dibagi lagi ke dalam sepuluh divisi, dan setiap divisi dibagi lagi ke dalam sepuluh section. Ke-sepuluh kelas utama tersebut adalah:
000 Generalities
100 Philosophy, psychology
200 Religion
300 Social Science (incl. economics).
400 Language
500 Natural Science.
600 Technology (incl. medicine, management).
700 Art (incl. architecture, paintings, photography).
800 Literature
900 History, geography, biography.
Kelas utama 000 digunakan untuk karya-karya yang tidak terbatas pada satu disiplin ilmu saja, misalnya ensiklopedia. Kelas ini juga digunakan untuk bidang yang berhubungan dengan pengetahuan dan informasi, misalnya ilmu komputer, ilmu perpustakaan. Angka pertama pada nomor-nomor tersebut menunjukkan main class. Masing-masing main class terdiri dari 10 divisi, juga menggunakan nomor 0 – 9. Angka yang menunjukkan divisi adalah angka kedua. Misalnya, 600 digunakan untuk buku-buku yang membahas tentang teknologi/ilmu terapan secara umum, 610 untuk ilmu kedokteran, 620 untuk ilmu teknik, 630 untuk pertanian. Masing-masing divisi dibagi lagi menjadi 10 section, juga menggunakan nomor 0 – 9. Angka ketiga dalam nomor DDC menunjukkan section. Misal, 610 – 6 – digunakan untuk karya umum di bidang kedokteran, 611 untuk anatomi manusia, 612 untuk fisiologi manusia, 613 untuk bidang promosi kesehatan.
Selanjutnya, setelah tiga nomor utama tersebut, angka desimal dapat digunakan sejauh diperlukan. Misalnya, 611.1 untuk buku yang membahas tentang organ-organ kardiovaskular, 611.2 untuk buku yang membahas tentang organ-organ pernafasan.
Dewey merupakan pelopor kepustakawanan di Amerika. Karyanya yang paling dikenal adalah Dewey Decimal Classification (DDC), yang kini digunakan sebagai kelas klasifikasi banyak perpustakaan. Karya lain dewey adalah ide dan gagasannya untuk menambah tugas dan fungsi perpustakaan Negara sebagai pembina layanan di perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum. Beliau pula salah satu pelopor pendiri ALA (American’s Librarian Association) dan memiliki beberapa biro perpustakaan dan perusahaan swasta sebagai upaya fundrising perpustakaan. Dan karena karya dan dedikasinya, sebuah karya menyebutnya sebagai Father of Modern Librarianship.
b. SHIYALI RAMAMRATA RANGANATHAN
• Lahir pada tanggal 9 Agustus 1892 di Shiyali, Madras, India.
• Bersekolah di Sekolah Tinggi Hindu di Shiyali, di Madras Christian College (di mana Beliau mengambil gelar BA dan MA dalam matematika pada tahun 1913 dan 1916), dan di fakultas keguruan, Saidapet.
• Pada tahun 1917 Beliau bergabung dengan universitas negeri di Mangalore.
• Dari tahun 1920 sampai 1923 Beliau kemudian mengajar di Universitas Negeri Coimbatore, dan di Universitas Madras, pada 1921-1923.
• Pada tahun 1924 Beliau diangkat sebagai pustakawan pertama dari Universitas Madras, dan untuk menyesuaikan dengan jabatan, Beliau pergi ke Inggris untuk belajar di Universitas Negeri di London.
• Tahun 1925 sampai 1944 Beliau mengambil pekerjaan di Madras sampai 1944.
• Tahun 1945-1954 Beliau menjabat sebagai pustakawan dan sebagai profesor ilmu perpustakaan di Universitas Hindu di Varanasi (Banaras), dan 1947-1954 Beliau mengajar di Universitas Delhi.
• Tahun 1954-1957 Beliau terlibat dalam penelitian dan penulisan di Zürich.
• Beliau kembali ke India pada tahun terakhir dan menjabat sebagai profesor tamu di Universitas Vikram, Ujjain, sampai tahun 1959.
• Pada tahun 1962 Beliau mendirikan dan menjadi kepala Pusat Dokumentasi dan Penelitian Pelatihan di Bangalore, dan pada 1965 Beliau diberi penghargaan oleh pemerintah India dengan gelar profesor riset nasional di ilmu perpustakaan
Prinsip-prinsip SR. Ranganathan dituangkan dalam 5 hukum dari Ilmu Perpustakaan atau Five Laws of Library Science adalah pertama dan, sampai saat ini, satu-satunya definisi yang jelas dari suatu fungsi-fungsi dan tanggung-jawab perpustakaan. Meski dapat dikatakan bahwa Hukum tersebut menuntut perenungan dan pengalaman sebelum menuju kepada kesempurnaan untuk digunakan sebagai petunjuk penting untuk pustakawan-pustakawan dengan potensi yang ada, untuk merencanakan dan menyediakan jasa pelayanan di dalam semua jenis perpustakaan.
Five Laws of Library Science adalah :
1. Books are for use, artinya Penekanan pada hukum yang pertama ini adalah bahwa perpustakaan harus mendapatkan pustaka dan membuat bahan perpustakaan tersebut mudah untuk digunakan oleh pemustaka , karena prinsip dasar hukum yang pertama ini mengandung dasar bahwa buku itu ada untuk digunakan.
2. Every reader his/her book , artinya Hukum kedua ini mengungkapkan isu perdebatan yang fundamental antara harga koleksi dengan kebutuhan dasar pemustaka yang harus bisa mengakses koleksi yang mereka butuhkan. Hal ini membuat pengadaan menjadi sesuatu yang sangat penting, pengadaan harus mengakomodir kebutuhan pemustaka.
3. Every book, its reader, artinya Hukum ini menekankan pada isu dasar tentang open access atau layanan terbuka sebuah perpustakaan. Open access artinya bahwa koleksi dapat diakses dengan bebas oleh pemustaka. Hal ini menunjukkan bahwa seharusnya, ketika ada pemustaka akan mengakses koleksi tertentu, maka koleksi tersebut harus pasti dapat ditemukan. Hal ini adalah menjadi tugas pustakawan dalam menjamin bahwa hubungan antara koleksi dengan pemustaka harus harmonis, dan kecepatan akses dalam penemuan kembali koleksi di perpstakaan harus dimaksimalkan.
4. Save the time of the reader , artinya Kebijakan harus dirumuskan sesuai dengan kebutuhan pemustaka Jangan sekali kali membiarkan pemustaka kebingungan dan membutuhkan waktu yang lama dalam mengakses informasi yang dibutuhkan. Informasi yang dikumpulkan dan diolah perpustakaan harus disesuaikan dengan tujuan perpustakaan serta harus disesuaikan dengan lingkungan perguruan tinggi, kebiasaan dan sikap pemakai serta kebutuhan informasinya.
5. A library is a growing organism, artinya Hukum kelima ini memberitahu kepada kita bahwa yang terpenting dari perpustakaan adalah bahwa perpustakaan itu selalu tumbuh dan berkembang serta berubah dan akan selalu mengalami hal seperti itu. Koleksi perpustakaan selalu bertambah dan berubah, teknologi terus berkembang mau dan budget juga selalu mengikuti perubahan itu. Perubahan-perubahan yang kompleks tersebut harus diantidipasi dan diimbangi dengan manajemen yang baik.
c. DON R. SWANSON
Ia lahir pada 10 Oktober 1924 dan wafat 18 November 2012 adalah seorang ilmuwan informasi Amerika , yang paling dikenal karena karyanya dalam penemuan berbasis literaturdalam domain biomedis. Metode khususnya telah digunakan sebagai model untuk pekerjaan lebih lanjut, dan sering disebut sebagai Swanson menghubungkan . Dia adalah seorang penyelidik dalam proyek Arrowsmith System , yang berusaha untuk menentukan hubungan yang bermakna antara artikel Medline untuk mengidentifikasi pengetahuan publik yang belum diketahui sebelumnya. Dia telah menjadi profesor emeritus Universitas Chicago sejak tahun 1996, dan tetap aktif dalam penunjukan setelah pensiun sampai kesehatannya mulai menurun pada tahun 2009.
Swanson menerima gelar BS dalam Fisika di Caltech , Pasadena, California pada tahun 1945, diikuti oleh MA di Rice Institute , Houston, Texas , dua tahun kemudian, dan kemudian PhD dalam Theoretical Physics dari University of California di Berkeley pada tahun 1952. Ia bekerja sebagai seorang fisikawan di berbagai laboratorium sampai 1963, ketika ia diangkat menjadi profesor dan menjabat sebagai dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perpustakaan di Universitas Chicago hingga 1972 dan kembali dari 1977–79 dan 1987-89.
Swanson secara cemerlang menguraikan interaksi (dialogue) yang ideal diantara seorang pengguna perpustakaan dengan console,(suatu jenis terminal yang dapat menemu balikkan berbagai jenis informasi bibliografi, dan mungkin informasi lainnya). Melaluiconsole, pengguna akan dapat berdialog dengan pangkalan data, dan melakukan penelusuran informasi. Pengguna diharapkan akan merasa puas terhadap dialog tersebut, karena informasi bibliografis yang dibutuhkan dapat diperoleh lebih cepat.
Tedd (1994) menguraikan kronologis perkembangan sistem OPAC dan automasi perpustakaan, yang disarikan sebagai berikut:
1. Pada tahun 1960-an, komputer telah digunakan di berbagai perpustakaan umum dan perguruan tinggi untuk membantu membuat katalog. Pada saat itu, pengoperasian sistem komputer masih berada pada mode atau cara yang sangat bervariasi, sehingga kemungkinan melakukan penelusuran informasi dengan katalog terpasang (online) dianggap masih jauh dari kenyataan.
2. Pertengahan Tahun 1970-an. Pada masa ini, komputer mulai digunakan untuk proses pengawasan sirkulasi di perpustakaan. Sistem komputer digunakan untuk tujuan pengumpulan data, khususnya pencatatan peminjaman. COM (computer output on microfilm) menjadi metode yang terkenal digunakan untuk menghasilkan katalog. Perkembangan pada masa ini, juga ditandai dengan munculnya sistem kerjasama pengatalogan dan pemanfaatan bersama, pada berbagai perpustakaan. Misalnya, di Inggris LASER (London and South Eastern Library Region), dan di Amerika Utara OCLC (Ohio College Library Centre). Sistem kerjasama ini menghasilkan cantuman katalog pada komputer untuk sejumlah perpustakaan yang berpartisipasi, baik dalam bentuk COM, maupun kartu katalog.
3. Akhir Tahun 1970-an dan Awal Tahun 1980-an Pengenalan komputer mikro (microcomputer) di era ini, mendorong berbagai perpustakaan semakin mandiri untuk menggunakan fasilitas komputer yang diperoleh dari perusahaan yang dilanggan. Kemandirian ini mengarah kepada pengembangan dan perancangan sistem sendiri (in-house system).Penggunaan komputer mikro menjadi terkenal karena menyediakan fasilitas untuk melakukan akses secara terpasang (online) terhadap berbagai simpanan (file) dalam sistem sirkulasi. Perkembangan lain yang terjadi pada masa ini, ialah penyediaan paket perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) atauturnkey sistem untuk perpustakaan oleh beberapa perusahaan. Sistem tersebut menggabungkan sejumlah fasilitas, diantaranya fasilitas penelusuran dan sistem sirkulasi. Karena sistem komputer yang digunakan pada masa itu di perpustakaan mampu menelusur cantuman bibiliografi secara online, sehingga sistem itu disebut sebagai sistem OPAC. Munculnya sistem OPAC disejumlah perpustakaan tertentu, merupakan perkembangan utama yang terjadi dalam automasi perpustakaan sampai awal tahun1980-an.
4. Pertengahan Sampai Akhir Tahun 1980-an. Pada masa ini, perpustakaan yang menggunakan sistem OPAC semakin meningkat. Pemasok mulai menyediakan sistem yang terintegrasi (integrated system) untuk manajemen perpustakaan, mencakup modul atau sub-sistem yang berbeda, seperti pengatalogan, akuisisi, sirkulasi, pengawasan serial, layanan antar perpustakaan dan juga OPAC. Keuntungan sistem yang terintegrasi bagi kegiatan penelusuran ialah, sistem memperbolehkan pengguna mengakses modul OPAC untuk mengetahui status pinjam dari semua bahan perpustakaan yang ada di perpustakaan tertentu. Pengguna yang sedang mengakses OPAC dimungkinkan bisa mengetahui status suatu bahan perpustakaan, apakah sedang tersedia atau sedang dipinjam, siapa peminjamnya, berapa lama dipinjam, kapan dikembalikan dan sebagainya. Hal ini dapat dilakukan, karena sistem menghubungkan file katalog dengan file sirkulasi. Sistem OPAC menjadi sangat terkenal selama tahun 1980-an, sehingga banyak perpustakaan mulai meninggalkan katalog kartu dan beralih ke sistem OPAC.
5. Pada tahun 1990-an, terlihat perubahan besar pada sistem manajemen perpustakaan, dengan menawarkan kecenderungan dari sistem milik sendiri (proprietary systems) bergerak ke arah sistem terbuka. Sejumlah permasalahan yang ditemui pada pengoperasian sistem di masa sebelumnya diinventarisir. Ditemukan bahwa sejumlah besar sistem yang ada di perpustakaan pada tahun 1980-an hanya bisa dijalankan pada perangkat keras (hardware) tertentu, misalnya sistem seperti DOBIS / LIBIS, Geac, LIBERTAS dan URICA, hanya dapat dijalankan pada hardware atau perangkat keras buatan suatu perusahaan tertentu. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh pemasok sistem untuk perbaikannya. Pemasok sistem mulai menawarkan produk sistem baru yang bisa dijalankan pada sejumlah perangkat keras. Arsitektur dari beberapa sistem yang baru ini, memisahkan perangkat lunak (software) menjadi client dan server. Perangkat lunak untuk client menyediakan antarmuka (interface) kepada pengguna, dan biasanya berjalan atau beroperasi pada PC (personal computer) atau terminal. Perangkat lunak untuk server menyediakan pengelolaan pangkalan data, dan biasanya dioperasikan pada komputer lain.
d. JAMES HADLEY BILLINGTON
Ia lahir 1 Juni 1929, umur 88 tahun, Pustakawan Kongres Emeritus, adalah seorang akademisi dan pengarang Amerika utama yang mengajar sejarah di Harvarddan Princeton sebelum menjabat selama 42 tahun sebagai CEO dari empat lembaga kebudayaan federal. Ia menjabat sebagai Pustakawan Kongres ke-13 setelah dinominasikan oleh Presiden Ronald Reagan pada 1987, dan pelantikannya disetujui tanpa halangan oleh Senat AS. Ia pensiun dari jabatan Pustakawan pada 30 September 2015.
James Hadley Billington dilantik sebagai Pustakawan Kongres pada tanggal 14 September 1987. Dia adalah orang ke-13 yang memegang posisi tersebut sejak Perpustakaan didirikan pada tahun 1800. Billington dinominasikan oleh Presiden Ronald Reagan, dan pengangkatannya dengan suara bulat disetujui oleh Senat AS.
Selama 28 tahun masa jabatannya di Library of Congress, Billington menggandakan ukuran koleksi analog tradisional Perpustakaan, dari 85,5 juta item pada 1987 menjadi lebih dari 160 juta item. Bersamaan dengan itu, ia menciptakan Perpustakaan Online baru yang besar, dan meluncurkan serangkaian program Perpustakaan inovatif untuk "mengeluarkan sampanye dari botol" bagi jutaan orang Amerika dan dunia. Billington memperoleh satu-satunya salinan dari peta dunia 1507 Waldseemüller ("Akte kelahiran Amerika") pada tahun 2003 untuk tampilan permanen di Gedung Perpustakaan Thomas Jefferson. Dia merekonstruksi perpustakaan asli Thomas Jefferson , dan juga menempatkannya di layar permanen di gedung Jefferson pada tahun 2008 menggunakan dana pribadi. Dia memperoleh salinan lengkap dari surat-surat Lafayette yang sebelumnya tidak dapat diakses dari kastil keluarga Lafayette di LaGrange, Perancis, serta ratusan koleksi lain dari orang Amerika yang hebat mulai dari Thurgood Marshall hingga Irving Berlin dan Jackie Robinson.
Billington memperbesar dan meningkatkan ruang publik di Gedung Thomas Jefferson menjadi tempat pameran nasional, menyelenggarakan lebih dari 100 pameran, banyak yang menampilkan materi yang sebelumnya tidak pernah ditampilkan secara publik di Amerika. Ini termasuk pameran berskala besar di Perpustakaan Vatikan , Bibliothèque nationale de France , Perang Sipil , Presiden Abraham Lincoln , budaya Afrika-Amerika , Agama dan Pendirian Republik Amerika , ulang tahun ke - 800 Magna Carta , dan pencetakan awal Amerika menampilkan Rubenstein Bay Mazmur Book . Sumbangan Jay Kislak tentang koleksi indahnya tentang sejarah dan budaya Amerika Awal kini ditampilkan secara permanen di gedung Jefferson. Billington juga mengadvokasi dengan sukses untuk koneksi bawah tanah antara Perpustakaan dan US Capitol Visitors Centre pada tahun 2008, yang telah sangat meningkatkan penggunaan kongres dan tur umum Perpustakaan Kongres.
Billington meluncurkan program deacidification massal pada tahun 2001, yang telah memperpanjang jangka hidup hampir 4 juta volume dan 12 juta lembaran naskah. Dia membuka modul penyimpanan koleksi baru di Fort Meade, yang pertama pada tahun 2002, untuk melestarikan dan membuat dapat diakses lebih dari 4 juta item dari koleksi analog Perpustakaan. Dia juga mendirikan Komite Pengawasan Keamanan Koleksi Perpustakaan pada tahun 1992 untuk meningkatkan perlindungan koleksi, dan juga Perpustakaan Kongres Kongres Kaukus pada tahun 2008 untuk menarik perhatian ke kurator Perpustakaan dan koleksi.
Billington mengumpulkan setengah miliar dolar dalam bentuk dukungan pribadi dari donor besar seperti John Kluge, Jay Kislak, dan David Packard untuk melengkapi anggaran Kongres untuk koleksi Perpustakaan, program, dan jangkauan digital. Dia menciptakan kantor pengembangan Perpustakaan pertama untuk penggalangan dana pribadi pada tahun 1987, dan, pada tahun 1990, mendirikan James Madison Council , kelompok dukungan donor sektor swasta nasional pertama di Perpustakaan. Billington meminta GAO untuk melakukan audit pertama di seluruh perpustakaan pada tahun 1987. Dia kemudian menciptakan sistem manajemen keuangan baru untuk Perpustakaan dan melembagakan audit keuangan rutin tahunan, yang menghasilkan opini yang tidak dimodifikasi ("bersih") sejak tahun 1995 dan seterusnya. Dia juga menciptakan Kantor Inspektur Jenderal pertama di Perpustakaan pada tahun 1987 untuk memberikan peninjauan independen yang teratur atas operasi perpustakaan. Billington adalah anggota lama dewan penasehat editorial Urusan Luar Negeri dan Teologi Hari Ini, dan anggota Dewan Beasiswa Luar Negeri (1971-1976) —seperti halnya ketua (1973-1975) —yang memiliki tanggung jawab eksekutif untuk pertukaran akademik di seluruh dunia di bawah UU Fulbright-Hays. Dia adalah anggota American Philosophical Society, Akademi Seni dan Ilmu Pengetahuan Amerika dan berada di Dewan John F. Kennedy Center untuk Seni Pertunjukan.
e. AINSWORTH RAND SPOFFORD (1825-1908)
Sejarah modern Library of Congress dimulai ketika Ainsworth Rand Spofford menjadi Pustakawan Kongres, karena Spofford yang mengubah perpustakaan referensi kecil yang melayani Kongres AS menjadi lembaga nasional yang juga melayani publik Amerika. Spofford secara permanen bergabung dengan fungsi legislatif dan nasional Perpustakaan, pertama dalam praktek dan kemudian dalam hukum melalui reorganisasi 1897. Dia memberikan penerusnya sebagai Pustakawan dengan empat prasyarat penting untuk pengembangan perpustakaan nasional Amerika:
1. Dukungan kongres yang kuat untuk gagasan Perpustakaan Kongres baik sebagai lembaga legislatif dan perpustakaan nasional;
2. Awal dari koleksi lengkap Americana;
3. Bangunan baru yang megah, monumen nasional; dan
4. Pustakawan Kongres yang kuat dan independen. Masing-masing Pustakawan Kongres sejak Spofford membentuk institusi dengan cara yang berbeda, tetapi tidak ada yang pernah ragu dari pernyataan Spofford bahwa Perpustakaan adalah lembaga legislatif dan nasional.
Spofford lahir di Gilmanton, New Hampshire, pada 12 September 1825. Dia dibimbing di rumah dan berkembang menjadi pembaca dan mahasiswa yang rajin. Pada tahun 1845, dia pindah ke barat ke Cincinnati dan segera menemukan pekerjaan yang menyenangkan sebagai petugas toko buku di perusahaan ED Truman, penjual buku dan penerbit; berkat usahanya, toko itu segera menjadi pengimpor buku-buku transendentalis New England — pengarang-pengarang favoritnya. Dia adalah salah satu pendiri Klub Sastra di Cincinnati. Pada 1852 ia menikahi Sarah Partridge, seorang guru sekolah yang dulunya berasal dari Franklin, Massachusetts dan mereka memiliki tiga anak: Charles, Henry, dan Florence.
Spofford memulai karir baru pada 1859 sebagai Associate Editor dari surat kabar terkemuka Cincinnati, the Daily Commercial ; dalam editorial pertamanya, berjudul "A Bibliologist," dia menyerang praktik pembelian buku yang naif dari pustakawan kota. Dua tahun kemudian surat kabar mengirimnya ke Washington, DC untuk melaporkan pembukaan Kongres ke-37 dan peresmian Presiden Abraham Lincoln, sebuah perjalanan yang mengarah pada penerimaannya, pada bulan September 1861, dari posisi Asisten Pustakawan Kongres. Berpengetahuan luas, rajin, dan ambisius, ia mengumpulkan dukungan dari banyak anggota Kongres ketika jabatan Pustakawan Kongres menjadi kosong pada akhir 1864. Pada tanggal 31 Desember 1864, Presiden Lincoln menamainya ke pos. Terletak di depan barat US Capitol, Perpustakaan memiliki tujuh staf dan koleksi buku sekitar 82.000 volume.
Spofford segera mulai bekerja membangun peran nasional Perpustakaan, dan ia mengejar tujuan ini dengan energi dan keterampilan politik. Anggota Kongres menyukai dia dan dengan bantuan dari teman-temannya dari Ohio, terutama Rutherford B. Hayes dan James A. Garfield, ia memperoleh dukungan untuk beberapa tindakan legislatif antara 1865 dan 1870 yang memastikan pertumbuhan koleksi dan membuat Perpustakaan Kongres menjadi perpustakaan terbesar di Amerika Serikat. Undang-undang baru termasuk transfer perpustakaan Smithsonian Institution ke Library of Congress, pembelian seharga $ 100.000 dari perpustakaan pribadi kolektor Americana Peter Force, dan penggunaan pertukaran internasional untuk membangun koleksi Perpustakaan. Ukuran baru yang paling penting adalah undang-undang hak cipta tahun 1870, yang memusatkan semua kegiatan pendaftaran dan penyimpanan hak cipta AS di Perpustakaan. Undang-undang baru ini membawa buku, pamflet, peta, cetakan, foto, dan musik ke dalam institusi tanpa biaya, sehingga menjamin pertumbuhan masa depan koleksi Americana dan menyediakan Perpustakaan dengan fungsi nasional yang penting dan unik.
Kepentingan profesional dan pribadi Spofford secara akurat digambarkan dalam judul yang kuat dari Buku A untuk Semua Pembaca, Dirancang sebagai Bantuan untuk Koleksi, Penggunaan, dan Pelestarian Buku dan Pembentukan Perpustakaan Umum dan Swasta (1900).Dia dihormati oleh pustakawan, politisi, dan masyarakat umum, bukan hanya karena prestasinya di Perpustakaan, tetapi juga karena pikirannya yang adil dan antusiasme untuk berbagi pandangannya tentang mata pelajaran favoritnya — membaca, bibliografi, dan mengumpulkan koleksi. Pustakawan Kongres Putnam membayar temannya Ainsworth Rand Spofford penghormatan resmi terakhir dalam Laporan Tahunan Perpustakaan 1908: "Pelayanannya yang paling abadi - peningkatan koleksi (Perpustakaan) - berlanjut hingga beberapa minggu terakhir dalam hidupnya, dan dilanjutkan dengan antusiasme, pengabdian, konsentrasi yang sederhana, sabar, dan sulit yang selalu membedakannya. Sejarahnya selama periode yang paling berpengaruh adalah sejarah Perpustakaan dari tahun 1861 hingga 1897.
f. ABD AL-SALAM
Abd al-Salam merupakan pustakawan dan manajer administrasi yang terkenal dari Perpustakaan Dar al-Kutub di Baghdad. Ia seorang pakar humaniora. Selain itu, ia juga menguasai berbagai cabang pengetahuan, mulai dari ilmu Alquran, hadis, hingga leksikografi.
Melalui tangan dinginnya, perpustakaan ini tumbuh pesat dan menjadi salah satu kiblat pengetahuan di dunia Islam. Menurut Makdisi, ketika meninggal tahun 1014 Masehi, Abd al-Salam dimakamkan di sebelah makam pakar tata bahasa terkemuka, Abu Ali al- Farisi. Ini penghargaan atas kontribusinya dalam memajukan ilmu pengetahuan.
Al Qayrawani pun patut mendapat perhatian, mengingat keahliannya dalam mengelola perpustakaan di Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Seperti halnya Abd al-Salam, dia juga seorang pakar, yakni di bidang filologi. Cendekiawan Muslim, al-Suyuthi, menyatakan al-Qayrawani adalah pustakawan pertama di perpustakaan yang berpengaruh tersebut.
Pustakawan sebagai profesi yang penting di era itu pun dibuktikan oleh kehadiran Abu Manshur Muhammad bin Ahmad al-Khazin. Ia wafat pada 1116 Masehi. Pakar fikih dari mazhab Syiah Imamiyah ini adalah juga pakar humaniora khususnya dalam ilmu tata bahasa dan leksikografi.
Makdisi menjelaskan, sebagai seorang kaligrafer terkemuka, Abu Manshur kerap mendapat tugas menyalin berbagai karya dengan kaligrafinya yang indah. Ia pun dijuluki Sang Pustakawan atau ‘al-Khazin’ karena kepiawaiannya dalam mengelola perpustakaan. Ia menduduki jabatan pustakawan di Dar al-Kutub pada 993 Masehi.
Nama lain yang muncul sebagai pustakawan ternama adalah Abu Abdullah Muhammad bin al-Hasan bin Zarrarah al-Tha'i. Ia hidup pada abad ke-12. Menurut sejarawan al-Salafi, al-Tha’i, tokoh ini memiliki beragam profesi hebat karena keahliannya di berbagai cabang pengetahuan.
Selain sebagai pustakawan, al-Tha'i mengepalai rumah sakit di Iskandariyah. Pakar humaniora yang menetap di Baghdad ini mengurus sebuah perpustakaan masjid yang cukup besar di sana. Di masjid itu, juga terdapat sebuah kelompok studi yang mengkaji masalah humaniora.
Ali bin Ahmad bin Bakr menjelma juga menjadi pustakawan. Sebelum menekuni bidang tersebut, ia belajar leksikografi pada al-Jawaliq dan belajar tata bahasa pada Ibnu al- Syajari. Selama beberapa lama, ia bertugas sebagai pustakawan madrasah. Ia menyalin pula catatan seorang kaligrafer tentang sejumlah buku adab.
Sekian dan terima kasih, semoga bermanfaat
Komentar
Posting Komentar